KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rupiah diproyeksi masih akan terjerembab di atas level Rp 16.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Nilai tukar rupiah semakin terbebani tren keluarnya dana asing dari pasar modal Indonesia. Berdasarkan data RTI Business, investor asing masih melakukan transaksi jual bersih (net sell) saham Rp 724 miliar di seluruh pasar Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (18/4). Ini memperpanjang tren net sell, sejak perdagangan kembali dibuka pada Selasa (16/4), sehingga aliran dana investasi asing di saham berkurang menjadi Rp13.68 triliun. Sementara itu, aliran dana asing keluar terpantau semakin deras di pasar Surat Berharga Negara (SBN). Per 17 April 2024, kepemilikan Non Residen di pasar SBN tercatat hanya sekitar Rp 804,55 triliun dibandingkan Rp 842,55 triliun di awal tahun 2024. Ini artinya terjadi dana keluar (outflow) sekitar Rp 38,27 triliun sejak awal tahun di pasar surat utang Indonesia.
Senior Economist KB Valbury Sekuritas Fikri C. Permana mengamati bahwa hengkangnya dana asing kemungkinan menuju pasar Amerika Serikat. Hal itu tercermin dari tren penguatan dolar AS (USD) dan naiknya yield US Treasury belakangan ini. Baca Juga: Pelemahan Rupiah Pengaruhi Tambahan Beban Pembiayaan Utang Pemerintah Mata uang dolar dan US Treasury dianggap sebagai pelarian utama dari kondisi yang tengah berkecamuk di Timur Tengah. Investor cenderung mengamankan investasi di aset lindung nilai (safe haven) seperti dolar dan obligasi AS, sementara emas dipandang tidak mencatatkan lonjakan yang begitu signifikan. Fikri melihat, saat ini terjadi penghindaran terhadap aset berisiko tinggi menyusul tekanan sentimen global dari perang geopolitik, ditambah lagi adanya ekspektasi penundaan pemangkasan suku bunga The Fed. Dengan demikian, investor lebih mengutamakan keamanan daripada keuntungan (risk averse). Terlepas dari itu, aktivitas pembelian asing yang terjadi di pasar modal Indonesia dianggap masih lebih kecil pengaruhnya daripada faktor suku bunga tinggi dan tensi geopolitik yang meningkat di Timur Tengah. Ditambah lagi, aktivitas libur panjang lebaran membuat aktivitas perdagangan pasif di Indonesia. “Hampir semua negara mengalami tekanan yang sama seperti rupiah. Jadi saya lihat masih wajar tekanan rupiah saat ini,” jelas Fikri kepada Kontan.co.id, Kamis (18/4). Menurut Fikri, dalam jangka pendek 1-2 minggu ke depan, rupiah masih akan berada dalam rentang Rp 15.800 – Rp 16.400 per dolar AS. Sebab, dampak dari situasi pasar terkini mengenai prospek suku bunga tinggi, serta perang antara Israel- Iran baru akan terasa mengingat pasar baru kembali aktif pascalibur lebaran idul fitri. Fikri menyoroti bahwa rupiah akan bergantung data neraca perdagangan ekspor impor yang dirilis awal pekan depan, Senin (22/4). Sebab, data ini akan menjadi fundamental penting sektor rill yang bisa menopang rupiah nantinya. “Apabila neraca perdagangan surplus masih di atas US$ 3 miliar, maka kemungkinan positif untuk rupiah. Sedangkan, apabila nilai surplus lebih rendah atau bahkan defisit, maka saya pikir bakal ada tekanan lanjutan bagi rupiah ke 16.500,” imbuh Fikri.