Rupiah loyo membuat harga obat bisa naik



JAKARTA. Imbas dari rupiah yang makin kurang darah akhir-akhir ini membuat industri farmasi sudah bersiap diri untuk mengerek harga jual obat.

Menurut Johannes Setijono, Ketua Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi), perusahaan farmasi punya dua strategi bila rupiah melemah. Pertama, perbanyak penjualan dan kedua mengerek harga obat. "Secara mayoritas sepertinya akan banyak yang menyesuaikan harga," katanya ke KONTAN, Rabu (28/8).

Meski nilai tukar rupiah sudah anjlok sekitar 20% saat ini, pebisnis farmasi tidak mengerek harga mencapai 20%. "Biasanya secara perlahan, antara 2%-3% dulu dan melihat kondisi pasar. Bila masih belum membaik, harga bisa naik lagi," tambahnya.


Menaikan harga obat ini tidak terlepas dari harga bahan baku obat yang sebagian besar masih diimpor. Apalagi, harga bahan baku impor obat menyumbang sekitar 80% dari harga pokok produksi (HPP) obat.

John Sebayang, Direktur Keuangan Indofarma berkata dengan kondisi rupiah saat ini, kenaikan harga obat menjadi opsi yang mendesak. "Jika pelemahan rupiah ini waktunya singkat dan nilainya tidak terlalu jauh dari kisaran Rp 10.000, kami bisa mengantisipasi dengan menunda pembelian bahan baku impor, belum sampai pada opsi kenaikan harga," katanya.

Kenyataannya, kurs rupiah kini telah memasuki level Rp 11.000 per dollar AS. Malah sempat tembus ke Rp 11.600 per dollar AS. Padahal, nilai kurs acuan Indofarma berkisar antara Rp 9.600 sampai Rp 10.000 per dollar AS.

Perhitungan John, dengan kondisi ini, HPP obat generik yang menjadi bisnis utama Indofarma bisa melonjak 8%-10%. Malah, saat rupiah masih bertengger di Rp 10.000 per dollar AS, Indofarma sudah menaikkan HPP obat 3% dan tetap ada margin untung.

Nah, dengan acuan nilai tukar rupiah ala Indofarma ini, menurut John, harga obat generik bisa terkerek hingga mencapi 20%, tergantung jenis obatnya. Meski sudah punya perhitungan kenaikan harga obat generik, Indofarma ingin kenaikan harga obat generik bisa sama dengan pemain farmasi yang lain.    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Markus Sumartomjon