Rupiah Loyo, Pengusaha Dibuat Dag Dig Dug



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih loyo. Senin (29/4/2024), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di atas Rp 16.000. Rupiah melemah bersama mayoritas mata uang Asia lainnya. 

Efek pelemahan nilai tukar rupiah memunculkan kekhawatiran dari berbagai sektor.

Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia Muhammad Nafan Aji Gusta mengingatkan, pelemahan rupiah akan menjadi persoalan krusial bagi sejumlah perusahaan, termasuk emiten Bursa Efek Indonesia (BEI). 


“Tantangan utama adalah soal risiko kredit macet. Terutama, mereka yang memiliki utang berdenominasi dolar AS dan berpendapatan rupiah,” kata Nafan.

Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) David Sumual menyebut pelemahan rupiah tersebut akan bertahan selama beberapa waktu ke depan. 

Menurut David, rupiah dalam jangka pendek berpotensi bergerak di kisaran Rp 15.700 hingga Rp 16.300 per dolar AS. Sedangkan hingga akhir tahun 2024, David memperkirakan potensi rupiah bergerak di kisaran Rp 15.500 hingga Rp 16.000 per dolar AS. 

Baca Juga: Anjlok, Rupiah Spot Ditutup Melemah ke Rp 16.255 Per Dolar AS Pada Hari Ini (29/4)

Namun, ia mengingatkan, tidak tertutup kemungkinan rupiah akan terjungkal hingga ke posisi Rp 16.500 per dolar AS hingga akhir tahun 2024. Hal ini bisa terjadi bila kondisi geopolitik di Timur Tengah semakin memanas, harga minyak terus merangkak naik, dan inflasi AS yang tak kunjung mereda. 

Pengamat pasar modal Teguh Hidayat bahkan membuka peluang bahwa rupiah bisa keok ke level Rp 17.000 per dolar AS. 

“Iran-Israel perang imbasnya harga energi seperti minyak dan batubara naik. Inflasi di seluruh dunia naik, kurs bisa ke Rp 17.000 per dolar,” tulis Teguh dalam media sosial Instagram miliknya, @tghidayat.

Dampak Pelemahan Rupiah Bagi Pengusaha

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyoroti tren pelemahan nilai tukar rupiah yang berpotensi mengancam kinerja industri manufaktur nasional.

Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani menyampaikan, pelemahan rupiah sudah pasti akan memberi dampak negatif bagi industri manufaktur nasional yang masih memerlukan impor bahan baku/penolong dan barang modal.

“Sekitar 70% dari total impor nasional adalah impor bahan baku/penolong industri yang mana jumlahnya akan naik menjadi 80% bila ditambah dengan impor barang modal,” ujar dia.

Shinta menambahkan, pelemahan rupiah tentu akan dirasakan oleh semua subsektor manufaktur tanpa terkecuali, mengingat seluruh industri manufaktur umumnya punya kebutuhan impor bahan baku/penolong dan barang modal.

Apindo memperkirakan gangguan terbesar bagi industri manufaktur ada di sisi suplai atau produksi. 

“Tahun lalu saja kami lihat beberapa industri secara voluntary menghentikan produksinya untuk sementara, karena bahan baku impor yang menjadi mahal akibat pelemahan nilai tukar,” kata Shinta.

Selain itu, ada kemungkinan harga produk-produk hasil industri manufaktur mengalami kenaikan di pasar jika pelemahan rupiah terjadi lebih dari satu bulan. Imbasnya, inflasi harga pasar bisa tumbuh lebih tinggi serta penjualan atau konsumsi pasar melambat, sehingga ujung-ujungnya mengganggu kestabilan ekonomi nasional.

Apindo pun sangat berharap pemerintah dapat menciptakan intervensi moneter yang dibutuhkan untuk menciptakan stabilitas dan penguatan nilai tukar rupiah.

Pelemahan Rupiah Terhadap BUMN

Koreksi rupiah juga membawa dampak serius bagi kinerja perusahaan pelat merah, terutama BUMN yang memiliki interaksi global cukup kuat dan sensitif terhadap perubahan kurs.

Misalnya, Pertamina Group maupun BUMN Karya yang memiliki proyek konstruksi dan infrastruktur, baik di dalam negeri maupun luar negeri.  

Sekretaris Perusahaan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk Mahendra Vijaya mengatakan, pihaknya akan meninjau ulang biaya operasional belanja modal, utang yang akan jatuh tempo, rencana aksi korporasi, serta melakukan uji stres dalam melihat situasi terkini. "Saat ini kami mengevaluasi dan membuat analisa sensitivitas atas kondisi itu," katanya.

Sementara, Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati juga bilang, Pertamina secara intensif terus memantau fluktuasi rupiah dan dampak memanasnya geopolitik terhadap rantai pasok energi global. 

"Kita sejak awal telah menyiapkan upaya mengendalikan biaya, mulai dari pemilihan crude yang optimal, pengelolaan inventory, efisiensi biaya pengangkutan dan maksimalisasi produksi high valuable product," kata dia.

Baca Juga: Pergerakan Mata Uang Rupiah Menantikan Hasil FOMC Pekan Ini

Pemerintah Klaim Rupiah Masih Terkendali

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan dampak pelemahan nilai tukar rupiah masih relatif terkendali terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.

Dalam asumsi dasar ekonomi makro 2024, pemerintah mematok rata-rata rupiah sebesar Rp 15.000 per dolar Amerika Serikat. Artinya rupiah saat ini semakin menjauhi asumsi APBN.

Meski begitu, Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Wahyu Utomo menegaskan asumsi rupiah yang ditetapkan dalam APBN 2024 merupakan rata-rata dalam satu tahun.

“Sehingga volatilitas kurs saat ini belum merefleksikan kurs rata-rata setahun,” tutur Wahyu.

Meski begitu, Wahyu tak menampik perkembangan kondisi nilai tukar rupiah ini tetap harus dimonitor dan dicermati. Menurutnya, secara umum dampak dari pelemahan nilai tukar rupiah tersebut akan mempengaruhi atau meningkatkan kondisi belanja negara, tetapi juga berdampak meningkatkan pendapatan negara.

“Sehingga sejauh ini dampaknya (pelemahan nilai tukar terhadap APBN) masih relatif terkendali,” kata dia.

 
 
 
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .