JAKARTA. Meski kurs rupiah menguat dan The Fed sepertinya belum menaikkan suku bunga tahun ini, Bank Indonesia (BI) belum memangkas tingkat suku bunga acuan alias BI rate. Kemarin, bank sentral mempertahankan BI rate di 7,5%. Terakhir kali, bank sentral menggunting suku bunga sebesar 25 basis poin pada Februari tahun ini. Padahal sekondan BI, Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) menggunting suku bunga penjaminan alias LPS rate 7 Oktober lalu. Ketika itu LPS rate turun 0,25% menjadi 7,5%. Sektor riil membutuhkan bunga lebih murah untuk melumasi roda ekonomi.
Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih menilai, keputusan BI sudah tepat dalam situasi sekarang. "Dengan volatilitas rupiah sangat tinggi, rawan sekali jika menurunkan suku bunga," katanya, Kamis (15/10). Sejatinya, rupiah mulai pulih awal Oktober ini. Di pasar spot, mata uang Garuda bertengger di Rp 13.418 per dollar AS, Kamis (15/10). Artinya, bulan ini saja rupiah sudah terapresiasi 8,43%. Kurs tengah BI bahkan mencatat, rupiah menguat 8,66% ke Rp 13.288 per dollar AS. Lana menilai, faktor terbesar pendongkrak rupiah berasal dari luar, yakni meredanya optimisme kenaikan suku bunga The Fed. Rully Arya Wisnubroto, Analis Pasar Uang Bank Mandiri bilang berbagai kebijakan ekonomi BI sudah lengkap. Hanya, sebagian besar membutuhkan waktu lebih panjang untuk diterapkan. Menurut Rully, saat ekonomi domestik belum stabil dan masih ada ketidakpastian suku bunga The Fed, BI sebaiknya mempertahankan BI rate. Jika buru-buru menurunkan suku bunga, rupiah bisa jatuh lagi. "Selisih BI rate dan fed fund rate mengecil, sehingga bisa memicu arus modal keluar,” ungkapnya.