KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah masih menunjukkan keperkasaan dengan menguat 0,35% ke Rp 15.439 per dolar Amerika Serikat (AS) pada Senin (26/8). Faktor eksternal menjadi pendorong utamanya. Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, arah yang semakin jelas mengenai suku bunga The Fed menjadi pendorong nilai tukar rupiah. Hal itu juga terlihat juga dari aliran dana asing yang kembali masuk ke Indonesia, salah satunya pasar Surat Berharga Negara (SBN). "Kelihatannya market
risk on kembali ke aset rupiah dan jika melihat tingkat imbal hasil juga menarik untuk obligasi Indonesia," ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (26/8).
David menyoroti, apabila permintaan SBN tetap besar maka menunjukkan keyakinan investor terhadap aset berdenominasi rupiah. Sebab, SBN merupakan instrumen dengan jangka waktu menengah panjang, atau setidaknya lebih dari satu tahun. "Ini baik untuk rupiah dan ekonomi Indonesia secara keseluruhan," sebutnya.
Baca Juga: Rupiah Ditutup Menguat Senin (26/8), Bisakah Penguatannya Bertahan Semester II Dari fundamental, David menyebutkan Indonesia masih cukup baik dengan inflasi yang terkendali. Lalu, neraca transaksi berjalan juga meningkat, yang mencerminkan pertumbuhan juga baik. "Di sisi lain, daya beli masyarakat masih sedikit lemah dan ada beberapa ketidakpastian domestik, seperti pemilihan menteri dan program-program pemerintah selanjutnya," sambung David. Karenanya, David berpandangan kenaikan rupiah saat ini terbilang
overshoot. Apalagi, berdasarkan perhitungannya, nilai wajar rupiah di kisaran Rp 15.500 per dolar AS-Rp 16.000 per dolar AS. Dia menerangkan, terjadi
overshoot lantaran Bank Indonesia (BI) hanya melakukan intervensi di kala rupiah melemah signifikan, sementara saat menguat, BI cenderung membiarkannya (
passive intervention).
Baca Juga: Dolar Jatuh ke Titik Terendah 3 Minggu Terhadap Yen pada Senin (26/8) David menilai, sebaiknya BI melakukan
active intervention seperti Jepang, yang mana jika mata uangnya melemah atau menguat secara signifikan, maka bank sentral-nya akan melakukan intervensi. Hal itu, katanya, untuk menjaga sektor riil yang mengutamakan stabilitas. Dengan kondisi saat ini, lanjut David, membuat sektor riil tidak bisa mengambil keputusan. "Namun memang, untuk investor portofolio tentunya sangat menyukai pergerakan seperti ini," sebutnya. Dengan situasi ini, rupiah diperkirakan akan berada di kisaran Rp 15.300 per dolar AS-Rp 15.700 per dolar AS untuk jangka pendek. Sementara hingga akhir tahun, David memperkirakan rupiah di kisaran Rp 15.200 per dolar AS-Rp 15.800 per dolar AS. "Lebarnya
range mempertimbangkan masih adanya ketidakpastian terkait Fed, geopolitik Timur Tengah dan Pemilu di AS," terang dia.
Baca Juga: Menguat di Awal Pekan, Simak Proyeksi Rupiah Untuk Selasa (27/8) Di Asia
Menguatnya rupiah saat ini juga diiringi penguatan mata uang di kawasan Asia lainnya. Pada kuartal III ini, rupiah tercatat telah menguat sebesar 6,49%. Dibandingkan negara
emerging market lainnya di Asia, nilai tukar rupiah menduduki peringkat ketiga. Penguatan mata uang terbesar terjadi pada ringgit Malaysia (MYR) yang naik 7,93%, disusul baht Thailand (THB) sebesar 7,6%.
Pengamat Komoditas dan Mata Uang Lukman Leong menyebutkan, penguatan mata uang di
emerging market karena arah pemangkasan suku bunga the Fed kian jelas. Dus, prospek mata uangnya dinilai akan menarik. "Dolar AS sendiri diperkirakan masih akan melemah, terutama setelah perkembangan beberapa pekan terakhir ini, dari data-data ekonomi AS dan pernyataan
dovish dari Powell," terang dia. Lukman menilai mata uang yang menarik untuk diperhatikan, yakni MYR dengan target di 4-4,1; IDR di rentang Rp 14.650 per dolar AS-Rp 15.000 per dolar AS, THB di 32,6 per dolar AS; Peso (PHP) di 53-54 per dolar AS. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati