KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah masih dalam tren pelemahan. Kamis (11/7), rupiah spot ditutup di level Rp 16.195 per dolar Amerika Serikat (AS), menguat 0,28% dari sehari sebelumnya. Namun, dalam tiga bulan terakhir, rupiah spot melemah 2,14%. Ekonom sekaligus Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Universitas Paramadina Handi Risza menilai, melemahnya nilai tukar rupiah bukan disebabkan oleh pelemahan ekonomi global, melainkan disebabkan adanya masalah dari sisi fiskal dan moneter dalam negeri. Disamping itu, nilai tukar rupiah juga melemah di antara mata uang lainnya.
“Pakai teori inflasi, ketika inflasi rendah jauh di bawah AS, seharusnya mata uang kita tidak serendah saat ini. Tapi nyatanya, mata uang kita turun signifikan. Ini membuktikan ada persoalan dari sisi fiskal maupun moneter yang buat rupiah kita anjlok,” tutur Handi dalam diskusi publik, Kamis (11/7).
Baca Juga: Rupiah Menguat: Mengapa & Apa yang Harus Diantisipasi? Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti menilai, salah satu penyebab nilai tukar rupiah melemah adalah, ketergantungan terhadap penggunaan dolar AS yang masih sangat tinggi. Ini terbukti dari tren nilai impor dari tahun ke tahun yang meningkat, seperti impor bahan baku, pangan, dan bahkan garam pun diimpor. Disamping itu, dari isi utang trennya juga terus meningkat, termasuk utang dalam bentuk dolar AS. “Sehingga ini membuat ketergantungan kita terhadap dolar AS, sebagai alat pembayaran juga meningkat,” kata Esther. Ketergantungan terhadap dolar AS tersebut lanjut Esther, tidak diimbangi dengan pendapatan dalam bentuk dolar AS, seperti kinerja ekspor yang terus menurun. Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai, dengan tren melemahnya nilai tukar saat ini, maka kepemimpinan di era presiden terpilih Prabowo Subianto terancam terkena krisis rupiah. Ia juga sepakat bahwa rupiah melemah disebabkan krisis global. Berdasarkan catatannya, dalam setahun terakhir rupiah melemah terhadap 81,28% mata uang dunia (data year on year 8 Juli 2024).
Baca Juga: Dolar AS Merosot Saat Ketua Fed Powell Bersiap Memberikan Kesaksian Hari Kedua “Kalau karena krisis global rupiah hanya melemah sebanyak 50%, tapi ini kita melemah terhadap 80% lebih. Artinya problemnya ada di kita, yakni struktural dan fundamental,” terangnya. Pun dengan rupiah yang masih melemah saat ini, juga didukung oleh harga komoditas global yang tinggi, bantalan dari BI melalui penerbitan Sekuritas Bank Indonesia (SRBI), dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang didukung dengan bunga yang tinggi. Bunga pasar SBN mencapai 7,2%, saat inflasi 2,7%. Gap lebar ini mengindikasikan investor memandang Indonesia memiliki risiko investasi yang tinggi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi