Rupiah melemah, emiten berbenah



JAKARTA. Nilai tukar rupiah masih dalam masa kegelapan. Sejak awal tahun, kurs tengah Bank Indonesia (BI) menunjukkan Rupiah telah meredup 10,93% ke posisi Rp 13.838. Emiten dengan risiko utang valuta asing pun telah siaga melakukan antisipasi.

PT Solusi Tunas Pratama Tbk (SUPR) memiliki utang Dollar sebesar US$ 615 juta. "Kita sudah lindung nilai (hedging) seluruhnya dengan kurs rata-rata Rp 12.570. Hedging dilakukan Februari. Kita sudah aman," kata Direktur Keuangan SUPR Juliawati Gunawan, Kamis, (20/8).

Ia menyebut, rasio utang terhadap modal atau Debt to Equity Ratio (DER) SUPR melebihi 2x. Sementara net debt to EBITDA tercatat di 4,7x. Menurutnya, SUPR tak berencana menambah utang baru di tahun ini.


Sedangkan, PT XL Axiata Tbk (EXCL) memiliki utang valas sebesar US$ 1,5 miliar. Di situ, EXCL hanya melakukan lindung nilai US$ 600 juta. Oleh karena itu, EXCL berencana merestrukturisasi US$ 900 juta utang Dollar-nya.

PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) pun kerap menerbitkan surat utang Dollar. Tahun lalu, SRIL menerbitkan dua Medium Term Notes (MTN) dengan jumlah US$ 100 juta. Lebih lanjut, SRIL berencana menerbitkan obligasi sebesar US$ 420 juta tahun ini. Meski begitu, SRIL telah mengubah pembukuan keuangannya dari Rupiah menjadi Dollar di awal tahun ini.

Kemudian, PT Holcim Indonesia Tbk (SMCB) pun tengah dalam proses penurunan porsi utang valas. Tahun lalu, utang denominasi valas SMCB berporsi sebesar 70%. Lalu tahun ini, porsinya berkurang jadi 36%. Kemudian di tahun depan, SMCB menargetkan utang mata uang asingnya menjadi 20%.

Analis LBP Enterprise Lucky Bayu melihat bahwa EXCL, PT Indosat Tbk (ISAT), PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL), PT United Tractors Tbk (UNTR), dan PT Hexindo Adiperkasa Tbk (HEXA) memeluk utang valas yang cukup besar. Meski begitu, SRIL cukup diuntungkan karena memiliki penjualan ekspor yang cukup besar.

Lebih lanjut, analis Investa Saran Mandiri Hans Kwee mengaku khawatir dengan kondisi nilai tukar Rupiah. Hans menyebut, pelemahan nilai tukar ini disebabkan karena kenaikan suku bunga the Fed, Yuan yang diprediksi melesu 10-15%, serta outflow di neraca pembayaran pemerintah.

Menjelang kenaikan suku bunga The Fed, Hans memperkirakan nilai tukar Rupiah bisa semakin terdepresiasi ke posisi Rp 14.000. Namun ketika The Fed resmi menaikkan suku bunga, maka nilai tukar Rupiah bisa menguat.

"Emiten yang belum hedging harus segera. Karena berpikir bahwa Rp 14.100 tidak jauh dari sekarang," kata  Hans.

Sedangkan, Lucky berpendapat hedging cenderung terlambat dalam situasi seperti ini. Ia menyebut, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah meminta perusahaan pelat merah untuk melakukan strategi hedging demi menghindari selisih kurs pada tahun lalu. Semestinya, hal tersebut dapat ditangkap emiten sebagai sinyal negatif bahwa Dollar akan menjadi primadona.

Lucky pun melihat potensi memburuknya Rupiah. Menurut dia, nilai tukar Rupiah bisa tutup di Rp 14.100 sampai Rp 14.500 pada akhir tahun.

Ia mengatakan, emiten semestinya bisa memanfaatkan pelemahan nilai tukar. Ia menyarankan agar emiten menukarkan arus kasnya dari Rupiah menjadi Dollar. "Kalau tidak, dampak negatif bagi emiten yang tak punya stok Dollar jangka pendek dalam jumlah besar," ujarnya.

Lucky menekankan bahwa nilai tukar merupakan potret kinerja fundamental negara. Jika Rupiah loyo, maka Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turut tertekan. Ia memperkirakan, harga wajar IHSG berada di 4.350 pada akhir tahun. Sementara overvalue IHSG di 4.900 dan undervalue pada 3.500.

Sedangkan Hans masih berharap pembangunan infrastruktur berjalan lancar. Sehingga IHSG bisa tutup di 5.100-5.200 pada pengujung tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto