JAKARTA. Harga obligasi menyentuh level terendah dalam kurun enam minggu terakhir. Belum mengilapnya kinerja mata uang Garuda menjadi sentimen negatif bagi obligasi. Hal ini tercermin pada indeks obligasi pemerintah alias Inter Dealer Market Association (IDMA) yang turun 0,09% ketimbang hari sebelumnya menjadi 95,97. Padahal di awal pekan, indeks masih di level 97,61. Ketimbang akhir tahun 2014, indeks sudah tergerus 3,74%. Begitu pula dengan indeks kinerja obligasi pemerintah Indobex Government Total Return dalam sebulan yang negatif di 0,69%. Pada Jumat (31/7), harga obligasi pemerintah bertenor 10 tahun yang dijadikan acuan yaitu FR0070 turun 0,12% ketimbang hari sebelumnya menjadi 98,889. Yield SUN tersebut pun terkerek dari semula 8,537% menjadi 8,557%. Ketimbang akhir bulan sebelumnya, harga sudah meluncur 1,59%. Sedangkan yield sudah bertambah 0,266%. Umumnya, penurunan harga obligasi akan disertai dengan kenaikan imbal hasil. Analis obligasi BNI Securities, I Made Adi Saputra menjelaskan, ada beberapa faktor yang menyeret harga obligasi. Pertama, tertekannya nilai tukar rupiah. Pada Jumat (31/7), rupiah di hadapan dollar Amerika Serikat (AS) melemah 0,6% ketimbang hari sebelumnya menjadi Rp 13.539. Angka tersebut merupakan level terendah sejak tahun 1998. “Ini membuat para investor asing khawatir rupiah bakal melemah lagi. Sehingga mereka mengamankan keuntungan mereka dengan menjual Surat Utang Negara (SUN),” jelasnya. Memang, situs Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko kementerian Keuangan (DJPPR) mencatat, per 29 Juli 2015, jumlah dana asing di Surat Berharga Negara (SBN) tersisa Rp 536 triliun. Padahal, akhir pekan lalu, masih mencapai Rp 539,41 triliun. Artinya, dana asing yang keluar dari SBN mencapai Rp 3,41 triliun. Dus, porsi kepemilikan asing di SBN juga menyusut dari semula 39,46% menjadi 39,22%. Risiko investasi Indonesia juga meningkat. Lihat saja angka credit default swap (CDS) Indonesia bertenor 10 tahun pada Kamis (30/7) yang naik 2,28% ketimbang hari sebelumnya menjadi 252,76. Ketimbang akhir bulan sebelumnya, angka tersebut sudah terangkat 4,09%. Semakin tinggi angka CDS, semakin tinggi pula tingkat risiko berinvestasi di kawasan tersebut. Sebaliknya, semakin rendah angka CDS, tingkat risiko investasi di area tersebut semakin minim. Kedua, pelaku pasar sedang mengantisipasi rilis data perekonomian Indonesia kuartal dua tahun 2015 yang diprediksi masih melambat. Pada kuartal pertama, perekonomian Tanah Air tercatat 4,7%. Analis Millenium Capital Management, Desmon Silitonga menambahkan, spekulasi kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral AS alias Federal Reserve (The Fed) turut melemahkan harga obligasi. Apalagi pasar menilai hasil pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada Kamis (30/7) dini hari bernada “hawkish”. AS optimistis terhadap pertumbuhan ekonominya. “Ada antisipasi rilis inflasi Indonesia per Juli 2015. Tapi saya menilai inflasi Tanah Air masih terkendali,” tuturnya. Memang inflasi Juni 2015 yang tercatat 0,545 merupakan inflasi bulan Juni terendah dalam lima tahun terakhir. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Rupiah melemah, harga obligasi terkapar
JAKARTA. Harga obligasi menyentuh level terendah dalam kurun enam minggu terakhir. Belum mengilapnya kinerja mata uang Garuda menjadi sentimen negatif bagi obligasi. Hal ini tercermin pada indeks obligasi pemerintah alias Inter Dealer Market Association (IDMA) yang turun 0,09% ketimbang hari sebelumnya menjadi 95,97. Padahal di awal pekan, indeks masih di level 97,61. Ketimbang akhir tahun 2014, indeks sudah tergerus 3,74%. Begitu pula dengan indeks kinerja obligasi pemerintah Indobex Government Total Return dalam sebulan yang negatif di 0,69%. Pada Jumat (31/7), harga obligasi pemerintah bertenor 10 tahun yang dijadikan acuan yaitu FR0070 turun 0,12% ketimbang hari sebelumnya menjadi 98,889. Yield SUN tersebut pun terkerek dari semula 8,537% menjadi 8,557%. Ketimbang akhir bulan sebelumnya, harga sudah meluncur 1,59%. Sedangkan yield sudah bertambah 0,266%. Umumnya, penurunan harga obligasi akan disertai dengan kenaikan imbal hasil. Analis obligasi BNI Securities, I Made Adi Saputra menjelaskan, ada beberapa faktor yang menyeret harga obligasi. Pertama, tertekannya nilai tukar rupiah. Pada Jumat (31/7), rupiah di hadapan dollar Amerika Serikat (AS) melemah 0,6% ketimbang hari sebelumnya menjadi Rp 13.539. Angka tersebut merupakan level terendah sejak tahun 1998. “Ini membuat para investor asing khawatir rupiah bakal melemah lagi. Sehingga mereka mengamankan keuntungan mereka dengan menjual Surat Utang Negara (SUN),” jelasnya. Memang, situs Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko kementerian Keuangan (DJPPR) mencatat, per 29 Juli 2015, jumlah dana asing di Surat Berharga Negara (SBN) tersisa Rp 536 triliun. Padahal, akhir pekan lalu, masih mencapai Rp 539,41 triliun. Artinya, dana asing yang keluar dari SBN mencapai Rp 3,41 triliun. Dus, porsi kepemilikan asing di SBN juga menyusut dari semula 39,46% menjadi 39,22%. Risiko investasi Indonesia juga meningkat. Lihat saja angka credit default swap (CDS) Indonesia bertenor 10 tahun pada Kamis (30/7) yang naik 2,28% ketimbang hari sebelumnya menjadi 252,76. Ketimbang akhir bulan sebelumnya, angka tersebut sudah terangkat 4,09%. Semakin tinggi angka CDS, semakin tinggi pula tingkat risiko berinvestasi di kawasan tersebut. Sebaliknya, semakin rendah angka CDS, tingkat risiko investasi di area tersebut semakin minim. Kedua, pelaku pasar sedang mengantisipasi rilis data perekonomian Indonesia kuartal dua tahun 2015 yang diprediksi masih melambat. Pada kuartal pertama, perekonomian Tanah Air tercatat 4,7%. Analis Millenium Capital Management, Desmon Silitonga menambahkan, spekulasi kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral AS alias Federal Reserve (The Fed) turut melemahkan harga obligasi. Apalagi pasar menilai hasil pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada Kamis (30/7) dini hari bernada “hawkish”. AS optimistis terhadap pertumbuhan ekonominya. “Ada antisipasi rilis inflasi Indonesia per Juli 2015. Tapi saya menilai inflasi Tanah Air masih terkendali,” tuturnya. Memang inflasi Juni 2015 yang tercatat 0,545 merupakan inflasi bulan Juni terendah dalam lima tahun terakhir. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News