Rupiah Menguat: Mengapa & Apa yang Harus Diantisipasi?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Memasuki semester II 2024, nilai tukar rupiah perlahan kian berotot. Pada awal Juli, rupiah berada di Rp 16.321 per dolar Amerika Serikat (AS) dan per Kamis (11/7) berada di Rp 16.195 per dolar AS.

Senior Economist Bank Mandiri Reny Eka Putri mengatakan, para pejabat the Fed masih terpecah mengenai berapa lama akan mempertahankan suku bunga. Notulen FOMC terbaru mengungkapkan pandangan yang terpecah, dengan beberapa menganjurkan kesabaran dan yang lain menekankan perlunya pasar tenaga kerja yang lebih lemah untuk mengelola pengangguran.

Menurunkan Fed Funds Rata (FFR) dianggap tidak tepat tanpa bukti yang jelas untuk mencapai target inflasi 2%. Beberapa pejabat terbuka untuk menaikkan suku bunga jika inflasi terus berlanjut, tetapi secara keseluruhan ada kehati-hatian dan ketidakpastian tentang prospek ekonomi.


"Kekhawatiran mengenai pelemahan ekonomi dapat mempengaruhi potensi penurunan suku bunga FFR tahun ini," ungkap Reny dalam riset, Kamis (11/7).

Baca Juga: Berotot, Rupiah Spot Ditutup Menguat ke Rp 16.195 Per Dolar AS Pada Hari Ini (11/7)

Di sisi lain, Gubernur The Fed Jerome Powell khawatir bahwa mempertahankan suku bunga terlalu tinggi untuk waktu yang terlalu lama dapat membahayakan pertumbuhan ekonomi. Dalam testimoni terakhirnya, disebutkan bahwa mempertahankan FFR pada level tinggi terlalu lama dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.

Sementara, penurunan suku bunga yang terlalu lambat atau terlalu sedikit akan melemahkan aktivitas ekonomi dan lapangan kerja. Lalu, jika dilakukan terlalu cepat atau terlalu banyak, dapat menghambat penurunan inflasi.

"Oleh sebab itu, anggota FOMC menunggu lebih banyak bukti pendinginan inflasi," paparnya.

Sentimen dari dalam negeri juga turut mempengaruhi penguatan rupiah. Apresiasi rupiah dipengaruhi oleh periode repatriasi dividen yang telah berakhir, sehingga mengakibatkan penurunan permintaan dolar AS.

Baca Juga: Pemerintah Sudah Bayar Bunga Utang Rp 240 Triliun, Naik 11,1%

Selain itu, terdapat arus modal masuk sebesar Rp 2,4 triliun di pasar saham dan Rp 0,3 triliun di pasar obligasi selama bulan Juli. Kemudian, Bank Indonesia (BI) mencatat posisi cadangan devisa pada akhir Juni 2014 sebesar US$ 140,2 miliar atau meningkat US$ 1,2 miliar dibandingkan dengan posisi akhir Mei 2014 sebesar US$ 139 miliar, dipengaruhi oleh penerimaan pajak dan jasa serta penarikan pinjaman luar negeri pemerintah, di tengah kebutuhan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.

Jelang rilis data inflasi AS, Reny berpandangan inflasi konsumen AS diperkirakan turun ke 3,1% YoY di bulan Juni 2024, dari 3,3% YoY di bulan Mei 2024. Laporan CPI Juni 2024 diperkirakan akan menunjukkan kenaikan 0,1% MoM pada harga konsumen dari Mei 2024, dengan CPI inti kemungkinan naik 0,2%.

Sementara itu, inflasi, yang dinilai dari indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE), berada di 2,6% YoY di bulan Mei 2024 setelah mencapai puncaknya di atas 7% YoY di bulan Juni 2022. "Penurunan inflasi dapat memperkuat argumen bagi The Fed untuk segera menurunkan FFR," paparnya.

Baca Juga: SRBI Jadi Primadona Investor Asing, Bunga yang Lebih Besar Membuat SBN Kurang Dilirik

Reny melihat adanya potensi penurunan FFR menjelang akhir tahun 2024. "Kami memperkirakan FFR akan turun 25bps sebelum akhir tahun ke kisaran 5%-5,25%," sambungnya.

Proyeksi ini juga sejalan dengan Fed Guidance Juni 2024, yang memperkirakan penurunan FFR sebanyak satu kali di tahun ini. Begitu juga dengan potensi penurunan BI Rate yang baru akan terjadi pada semester II tahun ini.

Data ekonomi, kondisi ekonomi global, ekspektasi inflasi, dan sasaran kebijakan moneter merupakan faktor penentu utama yang dapat mengarahkan Bank Sentral untuk melakukan pergerakan suku bunga. Pada tanggal 24 November, pemilihan umum di AS merupakan salah satu momen yang perlu diantisipasi oleh pasar karena dapat meningkatkan volatilitas yang berkelanjutan.

Untuk memitigasi risiko eksternal, BI akan melanjutkan intervensi ganda dan optimalisasi lelang instrumen terbaru (SRBI, SVBI, dan SUVBI) untuk menjaga stabilitas pasar keuangan dan menyerap arus modal.

"Dengan asumsi bahwa kebijakan The Fed akan menurunkan Fed Funds Rate menjadi 5,25% dan potensi arus modal kembali ke pasar domestik, kami masih mempertahankan proyeksi bahwa USD/IDR dapat mencapai kisaran Rp 15.800-Rp 15.900 pada akhir tahun 2024," tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati