Rupiah-ringgit pimpin penguatan mata uang asia



HONG KONG. Rupiah dan ringgit Malaysia memimpin penguatan mata uang negara berkembang terhadap dollar Amerika Serikat (AS) di Asia pada Kamis (15/10), setelah data AS yang lebih lemah meningkatkan harapan Federal Reserve akan menunda kenaikan suku bunganya.

Aset-aset dengan imbal hasil (yield tinggi) atau berisiko, melesat kembali setelah dua hari dilanda aksi jual akibat kekhawatiran baru bahwa krisis pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan meresap sampai ke negara-negara lain.

Pasar mata uang dan ekuitas telah menikmati kemajuan yang luas sejauh pada Oktober, setelah memikul kuartal terburuk selama empat tahun pada periode Juli-September, dengan sebagian besar keuntungan berasal dari spekulasi The Fed akan mempertahankan biaya pinjaman tak berubah.


Pada Rabu (14/10), Departemen Perdagangan AS mengatakan, penjualan ritel hanya naik sebanyak setengah dari yang diharapkan pada September, sementara itu juga merevisi turun hasil untuk Agustus-nya.

Selain itu, laporan Beige Book Fed menyebutkan ekspansi yang rendah dan dollar kuat dalam beberapa bulan terakhir telah menekan aktivitas manufaktur serta belanja pariwisata.

Berita ini muncul setelah laporan ketenagakerjaan di bawah par pada awal bulan dan menambah rasa bahwa ekonomi terbesar dunia itu tertatih-tatih, memberikan The Fed alasan lagi untuk menunda kenaikan suku bunganya.

Dengan biaya pinjaman diperkirakan akan tetap pada rekor terendah dalam waktu dekat, para investor pindah ke aset-aset berisiko. Rupiah melonjak 2,4 % dan ringgit menguat 2,2 % terhadap dollar di pagi hari sebelum berkurang sedikit masing-masing menjadi duduk 1,7 % dan 1,5 % lebih tinggi pada akhir perdagangan.

Won Korea Selatan naik 1,5 %, dibantu oleh keputusan bank sentral negara itu tidak memotong suku bunga meskipun menurunkan prospek pertumbuhan ekonomi.

Dollar Taiwan dollar dan baht Thailand masing-masing naik lebih dari 0,6 %, sementara rupee India 0,4 % lebih tinggi.

Tidak ada alasan untuk menaikkan suku bunga. "Apa yang Anda lihat dalam pergerakan sekarang membatalkan cerita bullish dollar. Tidak ada alasan bagi The Fed untuk menaikkan suku bunga melihat data-data ekonomi terakhir," kata Douglas Borthwick, kepala valuta asing di broker New York, Chapdelaine & Co, mengatakan kepada Bloomberg News.

Mata uang negara-negara berkembang telah tertekan sejak tahun lalu ketika The Fed diperkirakan akan mengangkat suku bunganya, dengan para investor bergeser ke Amerika Serikat untuk mencari keuntungan yang lebih tinggi dan lebih aman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto