JAKARTA. Risiko investasi Indonesia meningkat seiring pelemahan nilai tukar rupiah. Ini terlihat dari angka
credit default swap (CDS) Indonesia untuk tenor 5 tahun dan 10 tahun yang naik ke level tertinggi sejak akhir Januari 2015. Mengutip
Bloomberg per 10 Maret 2015, CDS Indonesia tenor 5 tahun di level 160,18 naik 11,68 bps dibandingkan dengan hari sebelumnya. Padahal pada 2 Maret 2015, CDS Indonesia 5 tahun sempat menyentuh level terendah sejak September 2014. Sementara CDS Indonesia tenor 10 tahun pada 10 Maret 2015 senilai 239,03 naik 14,47 bps dari hari sebelumnya. Pada 2 Maret 2015, angkanya sempat menyentuh level terendah sejak Desember 2014. Seperti diketahui, CDS merupakan persepsi risiko investasi di suatu kawasan. Semakin rendah angka CDS, semakin rendah pula risiko tersebut.
Fixed Income analyst PT Samuel Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan, kenaikan CDS dipicu oleh merosotnya harga obligasi. "CDS merupakan asuransi gagal bayar sehingga ketika harga obligasi jatuh, CDS akan naik karen alebih banyak orang yang membutuhkan asuransi," ujar Nico, Jakarta, Rabu (11/3). Tekanan nilai tukar rupiah mengakibatkan meningkatnya kekhawatiran investor. Investor asing utamanya yang akan mengalami kerugian nilai tukar seiring pelemahan rupiah. Akibatnya, investor melepaskan kepemilikannya di surat berhaga negara (SBN). Dus, harga obligasi mengalami tekanan. "Investor juga agak cemas apabila BI (Bank Indonesia tidak ikut mengintervensi rupiah kita," ujar dia. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementrian Keuangan mencatat kepemilikan asing di SBN turun menjadi Rp 503,87 triliun pada 9 Maret 2015 dibandingkan posisi awal bulan yang sebesar Rp 509,32 triliun. Nico memperkirakan pasar surat utang masih akan dibayangi pelemahan rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Pasalnya, dominasi asing di SBN cukup besar. Catatan saja, asing saat ini menggenggam sekitar 39,53% dari total SBN yang diperdagangkan. "Apabila rupiah terus mengalami tekanan, maka akan memicu
capital outflow lebih besar lagi," ujar dia. Kendati demikian, dia optimistis tekanan hanya akan berlangsung secara jangka pendek. Bank Indonesia (BI) akan menerapkan kebijakan menjaga rupiah pada batas tolerasi. Selain itu, pemerintah juga mulai bekerjasama dengan BI dengan membuat beberapa kebijakan yang akan memberikan penguatan rupiah. "Sehingga untuk jangka menengah hingga panjang, pasar surat hutang masih menarik," kata Nico. Senada, Desmon Silitonga, analis Millenium Danatama Asset Management mengatakan pelemahan rupiah hanya bersifat sementara akibat faktor eksternal. Sementara ekonomi makro Indonesia saat ini masih positif. "Sepanjang tahun ini pasar surat utang pemerintah masih akan tumbuh 12% hingga 13%," ujar Desmon. Analis Sucorinvest Central Gani Ariawan mengatakan tekanan pasar obligasi akan berlangsung apabila depresiasi rupiah masih cukup tinggi. Dia memperkirakan fluktuasi pasar obligasi mulai mereda apabila rupiah turun di bawah level Rp 13.000. "Seharusnya
confidence level investor akan mulai meningkat," ujar Ariawan.
Nico mengatakan tekanan pasar obligasi justru bisa dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan. Investor bisa masuk secara bertahap dengan harga murah, Di tengah kondisi seperti ini, kata Nico, investor bisa mengincar obligasi acuan pemerintah. "Kemarin ketika harganya tinggi, para pelaku pasar dan investor sempat enggan masuk karena rawan koreksi. Sekarang ketika turun, menjadi kesempatan yang baik untuk masuk secara bertahap," ujar Nico. Untuk mengurangi volatilitas, investor bisa masuk ke obligasi berdurasi pendek hingga menengah. Namun, tetap harus mengoleksi juga sedikit di obligasi berdurasi panjang. "Misalnya, seri FR0068 bertenor 20 tahun untuk mencapai keuntungan yang maksimal," ujar dia Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Uji Agung Santosa