Rupiah tergantung reformasi pajak



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rupiah dalam tren positif, awal tahun ini. Mata uang garuda tengah menikmati banyak sentimen positif.

Pertama, rupiah diuntungkan keputusan Fitch Ratings menaikkan peringkat utang Indonesia dari BBB- menjadi BBB. Hal ini memicu masuknya aliran dana asing sejak akhir Desember 2017 hingga awal Januari ini.

Investor asing tampak memburu instrumen di pasar modal. Selama pekan pertama Januari, investor asing mencetak beli bersih Rp 10,09 triliun. Di pasar obligasi, Ditjen Pembiayaan Pengelolaan dan Risiko Kementerian Keuangan mencatat investor asing mencetak net buy Rp 11,93 triliun sepanjang pekan lalu.


Antusiasme investor juga terlihat pada lelang surat utang negara perdana tahun ini. Penawaran yang masuk mencapai Rp 86,20 triliun. "Bisa dibilang tingkat kepercayaan asing terhadap kondisi mata uang rupiah cukup positif," kata David Sumual, Ekonom Bank Central Asia, kepada KONTAN, kemarin.

Kedua, cadangan devisa Indonesia Desember mencapai US$ 130,20 miliar. Ini adalah rekor nilai cadangan devisa sepanjang masa. Sentimen ini, menurut David, membuat rupiah cenderung menguat terhadap dollar Amerika Serikat (AS) dalam jangka pendek.

Ketiga, analis Monex Investindo Futures Putu Agus Pransuamitra menyebut, saat ini belum ada sentimen eksternal berskala besar yang bisa menekan kurs rupiah. Memang, reformasi pajak di AS jadi fokus pelaku pasar. Tapi lantaran dampak reformasi pajak belum terasa, rupiah masih bisa terus menguat.

Namun David mengingatkan, rupiah berpotensi turun pada semester II-2018. Sebab, dampak reformasi pajak terhadap ekonomi AS idealnya sudah mulai terasa. Jika hasilnya positif pada ekonomi AS, The Fed bisa menaikkan bunga acuan lebih dari tiga kali. Hal ini bisa membuat dana asing keluar dari Indonesia.

Indonesia bisa sulit mencegah dana asing keluar. Apalagi jika Indonesia gagal menggelar reformasi pajak. Maklum, reformasi pajak Indonesia akan menjadi modal utama menangkis efek negatif pelaksanaan reformasi pajak di Amerika Serikat. "Jadi harus disiapkan baik," katanya.

Analis Valbury Asia Futures Lukman Leong juga mengingatkan, gejolak geopolitik global bisa ikut menekan rupiah. Dari dalam negeri, pasar akan mewaspadai pelaksanaan pilkada serentak dan proses awal Pemilu 2019. Lukman memprediksi kurs tahun ini akan berkisar Rp 13.200-Rp 13.550 per dollar AS.

Sementara David memproyeksikan, semester I-2018, rupiah berpotensi menguat ke Rp 13.200 per dollar AS, dengan support di Rp 13.400. Paruh kedua, bila reformasi pajak AS berjalan positif, nilai tukar rupiah bisa menuju Rp 13.600 per dollar AS.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia