Rupiah terkapar, di mana Bank Sentral?



JAKARTA. Problem datang bertubi-tubi. Di saat lonjakan harga beras dan elpiji belum  teredam, giliran dollar AS unjuk gigi. Akibatnya, nilai tukar rupiah terkapar di hadapan dollar AS.  

Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI), Senin (2/3), rupiah bertengger di level Rp 12.993 per dollar Amerika Serikat (AS), turun 1% dari posisi Rp 12.863 per dollar AS, pekan lalu (27/2). Sejak awal tahun, rupiah sudah melemah sekitar 4,16%.

Bahkan di pasar spot, rupiah sempat mencapai 13.025, posisi terlemah sejak Juni 1998. Sejauh ini belum terdengar ada penemuan obat kuat yang mujarab bagi rupiah. 


Bahkan kini rupiah sedang mencoba level keramat ke posisi 13.000. Jika level itu tertembus, campuran antara kepanikan pasar dan aksi spekulan mata uang, bisa menarik cepat rupiah ke level 14.000 hingga  15.000. 

Toh, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menilai pelemahan rupiah saat ini masih masih dalam koridor bank sentral. Menurutnya, fluktuasi rupiah masih wajar jika berada dalam kisaran 3%-5% di atas patokan kurs di APBNP 2015 yang sebesar Rp 12.500 per dollar AS. 

Dengan asumsi tersebut, artinya saat ini BI menjaga rupiah di level 12.875-13.125. Inikah yang membuat BI tak mengintervensi pasar? Di mana peran otoritas moneter  menguatkan rupiah?  Agus membantah anggapan tersebut. "Kami selalu berada di pasar untuk menjaga volatilitas rupiah," tandas mantan Menteri Keuangan tersebut.

Bambang Brodjonegoro, Menteri Keuangan, menjelaskan, pelemahan rupiah kali ini dipicu oleh pemangkasan suku bunga acuan Bank Sentral China sebesar 25 basis poin. Kondisi ini membuat pasar berspekulasi sehingga nilai tukar mata uang negara yang ekonominya berkaitan langsung dengan China langsung terpuruk. "Ini bukan faktor dalam negeri, tapi dari luar," kata Bambang. 

Meskipun demikian, Bambang tidak menjelaskan langkah yang akan diambil oleh pemerintah terkait pelemahan rupiah tersebut.

Presiden Joko Widodo juga turut angkat suara terkait dengan pelemahan rupiah. Presiden menilai, pelemahan rupiah saat ini bukan karena fundamental ekonomi Indonesia yang memburuk. Argumentasinya, dua bulan terakhir terjadi deflasi, cadangan devisa Indonesia naik, sementara arus investasi juga masuk Indonesia. 

Lepas dari sikap tenang yang ditunjukkan pemerintah dan Bank Indonesia saat ini, para pengusaha tentu paling merasakan dampaknya. Industri manufaktur harus waspada karena sebagian besar bahan baku masih impor.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto