Rupiah terkapar, industri meriang



JAKARTA. Performa rupiah masih saja terus memprihatinkan. Meski kurs tengah Bank Indonesia (BI), kemarin, rupiah mencatat penguatan di level Rp 14.451 dibanding akhir pekan lalu di Rp 14.463, tapi di pasar spot rupiah nyaris menyentuh Rp 15.000 per dollar Amerika Serikat (AS).

Di pasar spot, Senin (21/9), rupiah versus dollar AS justru melemah 0,78% ketimbang akhir pekan lalu menjadi 14.486,2. Ini posisi terlemah sejak Juni tahun 1998. Jika dihitung sejak awal tahun hingga kemarin, rupiah melemah 16,94% dari posisi Rp 12.474 di awal tahun. (2/1).

Ini pula yang membuat cadangan devisa kita terkuras cukup dalam. Hanya tiga pekan di bulan September ini (21/9), cadangan devisa sudah berkurang US$ 2 miliar dari posisi 31 Agustus 2015 yang masih US$ 105,34 miliar. "Angkanya masih dinamis, masih bisa berubah," ujar Gubernur BI Agus Martowardojo dalam rapat kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin (21/9).


Jika penerimaan ekspor naik, tumpukan cadangan devisa bisa bergerak naik. Hanya, harapan ini tipis lantaran kondisi global yang masih meriang. Sebaliknya, potensi terkuras lebih banyak lantaran ada pembayaran utang valas di tahun ini. "Triwulan ke tiga tahun ini, banyak utang yang jatuh tempo," ujar Agus di hadapan parlemen.

Kadek Dian Sutrisna Artha, ekonom dari Universitas Indonesia (UI) memproyeksi, cadangan devisa hingga akhir tahun berpotensi berkurang lebih banyak. Selain utang valas, ketidakpastian keputusan kenaikan bunga The Fed menjadi sebab. "Sumber cadangan devisa dari capital inflow tentu sulit diharapkan, pun ekspor," ujar Kadek.

Jika kondisinya masih belum berubah, ada baiknya pemerintah dan bank sentral waspada. Pasalnya, dalam kondisi saat ini, pasar ekspor tak banyak bisa memberikan harapan. Celakanya, kebutuhan valas juga bertambah lantaran proyek infrastruktur mulai bergulir.

Tak hanya menguras cadangan devisa, pelemahan rupiah juga sudah membuat meriang korporasi dan industri. Sejumlah emiten kesulitan membuat proyeksi bisnisnya ke depan. Industri makanan dan minuman semisal, juga mulai terpukul lantaran selama ini hanya memiliki daya tahan nilai tukar rupiah di Rp 14.000.

"Sekarang, rupiah di atas Rp 14.000, perusahaan makanan minuman melakukan efesiensi dengan kurangi jam kerja dan jam lembur," ujar Adhi S. Lukman, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi).

Pasalnya, industri ini bergantung bahan baku impor seperti gandum, terigu, garam, kedelai, gula, susu, hingga flavor. Kata Adi, pelemahan nilai tukar rupiah dikhawatirkan bisa mendorong pemutusan hubungan kerja, meski sampai saat ini, perusahaan belum mau melapor ke asosiasi.

Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial (PHI) dan Jamsostek Kementerian Ketenagakerjaan Hayani Rumondang bilang, sampai Agustus jumlah PHK yang dilaporkan 26.500 orang. "Di September, belum ada yang lapor," ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie