Rupiah terkulai, PLN menghadapi krisis



JAKARTA. Minimnya sentimen positif masih membayangi laju nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Di kurs tengah Bank Indonesia kemarin (3/6), rupiah ada di level Rp 11.806 per dollar Amerika Serikat (AS), melemah dari sehari sebelumnya yang ada di level Rp 11.740 per dollar AS.

Loyonya nilai mata uang Garuda itu, telah mengganggu kinerja keuangan perusahaan yang memiliki nilai utang yang besar dalam mata uang dollar AS. Yang sedang terkena imbasnya ialah PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Produsen setrum milik negara ini harus mengorbankan sejumlah proyek penting infrastruktur kelistrikan. Pembangunan transmisi dan penyambungan baru untuk rumah tangga besar dan kecil, misalnya, terpaksa dihentikan dulu oleh PLN untuk membiayai utang. "Kami tak lagi membangun jaringan kabel baru, trafo baru dan meteran listrik," kata Murtaqi Syamsuddin, Direktur Bisnis dan Manajemen Risiko PLN, kepada KONTAN, Selasa (3/6).


Dia bilang, kebutuhan meteran listrik tahun ini mencapai 3,5 juta hingga 4 juta unit. Namun, pada triwulan pertama baru terpasang sebanyak 1,2 juta unit. "Kami menahan spending dana capex untuk menjaga likuiditas. Dana ini untuk mengembalikan utang dan bunga," imbuh Murtaqi.

Murtaqi mengakui, likuiditas PLN sedang bermasalah akibat rupiah melemah. Maklum, penerimaan PLN dalam rupiah. Sedangkan utang PLN dalam dollar AS. Tahun ini, PLN harus membayar pokok utang dan bunga totalnya sebesar Rp 51 triliun.

Negara turun tangan

PLN harus memiliki dana lebih untuk jaga likuiditas dan rasio utangnya tetap terjaga dengan baik dan agar tetap bisa melayani sambungan baru. Kini PLN meminta meminta kepada Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) dan Kementerian Keuangan untuk menambahkan dana subsidi tahun 2014.

Tahun ini komitmen dana subsidi listrik Rp 115 triliun. Tapi yang diberikan pemerintah baru Rp 107 triliun. PLN kini sedang meminta tambahan dana subsidi sebesar Rp 8 triliun. "Solusinya adalah mengalokasikan dana subsidi bagi PLN di RAPBN Perubahan 2014 sebesar Rp 8 triliun," harap Murtaqi. Dana itu akan digunakan oleh PLN untuk menarik pinjaman dari lembaga keuangan dan investor demi mengongkosi ekspansi bisnisnya.

Pengamat Kelistrikan dari ReforMiner Institute, Komaidi menilai, sebagai perusahaan negara, setiap tahun PLN diberikan subsidi dan margin keuntungan dari pemerintah. Seharusnya margin keuntungan bisa menopang kelanjutan bisnis PLN. "Masalahnya, bagaimana jika margin yang didapat tidak cukup bagi PLN, karena harus menanggung utang yang besar? Solusinya, negara harus turun tangan," kata Komaidi.

Sulit bagi PLN memperpanjang komitmen dengan pihak ketiga yang memberikan pinjaman. Pasalnya, pihak kreditur akan cenderung berpikir ulang memberi pinjaman lebih besar kepada PLN. "Sejak saat ini PLN harus berbenah dengan melakukan efisiensi di sektor pembangkit listrik agar bisa menjaga keuangannya," tutur Komaidi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia