KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tengah berada dalam tren penguatan. Berdasarkan data
Bloomberg, sejak awal tahun sampai dengan Jumat (28/4), rupiah sudah menguat 5,77% ke level Rp 14.674 per dolar AS, dari Rp 15.573 per dolar AS. Di tengah penguatan kurs rupiah ini, ada sektor-sektor bisnis yang diuntungkan dan juga dirugikan.
Head of Research Jasa Utama Capital Sekuritas Cheril Tanuwijaya mengatakan, emiten yang mendulang keuntungan berkat penguatan rupiah merupakan perusahaan yang bahan baku produksinya dominan impor.
Contohnya adalah emiten farmasi, konstruksi, dan otomotif. Penguatan rupiah akan menurunkan beban biaya atau kerugian kurs nilai tukar terhadap mata uang lain. Selain itu, penguatan rupiah juga menguntungkan bagi para emiten yang mempunyai porsi utang dalam dolar AS yang besar. Pasalnya, hal ini membuat nominal utang beserta bunganya tidak akan terlalu membengkak.
Baca Juga: Rupiah Berpotensi Lanjut Menguat pada Selasa (2/5), Investor Menanti Data Inflasi Analis Phintraco Sekuritas Rio Febrian menyampaikan, mayoritas emiten yang berorientasi impor berada pada sektor barang konsumsi. "Secara prospek, sektor ini dapat diperhatikan karena ada potensi peningkatan pendapatan dan pemulihan konsumsi masyarakat pada tahun 2023," ucap Rio saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (1/5). Hal ini terlihat dari data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang mulai stabil menyentuh level pra-pandemi. IKK per Maret 2023 tercatat sebesar 123,3, tak jauh berbeda dari rata-rata IKK pra-pandemi di 124,5. Di sisi lain, Indeks PMI Manufaktur Indonesia naik ke 51,9 per Maret 2023, relatif di atas level ekspansif yakni 50. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan memperkirakan, inflasi tahun 2023 secara tahunan akan turun ke 1%-3%. Progres penurunan tingkat inflasi terlihat dari inflasi bulan Maret 2023 yang sebesar 4,97%
year on year (YoY) lebih rendah level 5,47% YoY pada Februari 2023. Sebaliknya, emiten yang dirugikan dengan pelemahan dolar AS adalah emiten yang berorientasi ekspor atau sebagian besar pendapatannya berasal dari ekspor. Pasalnya, penguatan rupiah berpotensi menurunkan pendapatan dari emiten tersebut. Menurut Rio, mayoritas emiten yang berorientasi ekspor berada pada sektor energi. Secara prospek, sektor energi juga tidak semenarik beberapa tahun lalu karena adanya moderasi harga kontrak batubara dengan kecenderungan pelemahan dan kondisi nilai tukar rupiah yang cenderung menguat beberapa waktu terakhir. Bernada serupa, Cheril juga menilai bahwa emiten berbasis ekspor merupakan pihak yang dirugikan dengan penguatan kurs rupiah. Dua di antaranya adalah
MYOR,
INKP, serta emiten-emiten dari sektor energi.
Baca Juga: IHSG Diprediksi Koreksi Terbatas Selasa (2/5), Berikut Saham yang Dapat Dicermati "Sebagian besar pendapatannya dari ekspor yang pembayarannya menggunakan dolar AS sehingga akan sedikit berdampak negatif ke kinerjanya," kata Cheril. Ia menyarankan investor untuk memperhatikan saham-saham yang diuntungkan dengan penguatan rupiah. Pilihannya jatuh pada
ASII yang termasuk sektor otomotif,
ADHI sektor konstruksi, serta
PEHA dan
KLBF yang merupakan sektor farmasi. Cheril merekomendasikan ASII dengan target harga Rp 7.200 per saham, ADHI Rp 460, PEHA Rp 750, dan KLBF Rp 2.320 per saham. Kemudian, berdasarkan analisis yang dilakukan Phintraco Sekuritas, saham yang dapat diperhatikan adalah
INDF dan
JPFA. Menurut Rio, saham-saham tersebut, memiliki rasio keuangan, seperti NPM, ROA, ROE, dan DER yang relatif baik dibandingkan
peers. Rasio harga, yakni PER dan PBV juga relatif lebih rendah dibandingkan PER dan PBV sektoral. INDF mempunyai PER 8,87x dan PBV 1,05x, sementara JPFA memiliki PER 8,75x dan PBV 0,98x. Keduanya lebih rendah dari sektor konsumsi barang primer per Maret 2023 yang memiliki PER 15,99x dan PBV 1,75x.
Secara teknikal, Rio merekomendasikan
wait and see untuk INDF dan JPFA.
Resistance terdekat INDF diperkirakan berada di Rp 6.600 dengan pivot Rp 6.475 dan
support Rp 6.350. Lalu,
resistance JPFA di Rp 1.110 dengan pivot Rp 1.050 dan
support Rp 995. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari