Rupiah tidak membuat maskapai panik



JAKARTA. Kondisi rupiah yang masih terkapar tidak membuat maskapai penerbangan panik. Setelah sebelumnya tergolong gencar menambah armada, baik itu beli atau sewa, yang sudah pasti memakai mata uang dollar Amerika Serikat (AS).

Tengok saja PT Indonesia Air Asia yang tetap berencana membeli pesawat tahun depan. “Saat ini kami punya 30 pesawat. Tahun depan akan tambah sekitar delapan sampai sepuluh pesawat Airbus A 320,” kata Audrey Progastama, Communication Manager Air Asia kepada KONTAN, akhir pekan lalu.

Menurutnya meski efek rupiah terjadi di semua maskapai, ia mengklaim posisi dan kondisi Air Asia Indonesia masih cukup baik. Ia beralasan Air Asia masih punya penopang pendapatan yang tidak terkena imbas pelemahan rupiha. Sebab, sebagian besar rute yang dimiliki adalah rute internasional yang pendapatannya dalam dollar AS.


Tahun depan, maskapai berbiaya murah ini justru menargetkan bisa mendongkrak pendapatan. Caranya adalah dengan mendorong wisatawan masuk ke beberapa jaringan destinasinya yang tersebar Asia.

Soal beban pembelian pesawat yang Air Asia lakoni sepanjang tahun ini, Audrey tetap yakin ditengah rupiah yang masih tergerus, perusahaan ini masih mampu memenuhi kewajiban. Menurutnya kontrak yang sudah dijalin harus tetap dilaksanakan.

Catatan saja, di 2013 ini, Air Asia menambah 10 pesawat Airbus A320 secara leasing. Namun pihak AirAsia tidak mau membuka nilai sewa pesawat ini.

Langkah lainnya dengan menggenjot pendapatan diluar sektor perbangan seperti kargo. “Saat ini pendapatan diluar penerbangan menyumbang 20% dari total pendapatan Air Asia,” imbuhnya.Sementara itu, maskapai yang dalam beberapa tahun ini membuat tercengang jagat penerbangan akibat pembelian pesawat besar-besar, Lion Air, mengklaim tidak terlalu khawatir terhadap kondisi rupiah. Manajemen maskapai ini mengaku bahwa kondisi rupiah yang loyo sudah masuk dalam perhitungan risiko perusahan.

Tanpa menyebut besaran utang yang harus dibayar, Adhitya Simanjuntak, Sekretaris Korporat PT Lion Mentari Airlines bilang bahwa pembayaran pembelian pesawat akan tetap terlaksana sebagaimana mestiknya. "Kami sudah mengantisipasi dari jauh hari. Hitungan kami masih masuk walaupun kurs dollar sudah mencapai Rp 12.000,” paparnya kepada KONTAN.

Asal tahu saja, maskapai milik Rusdi Kirana ini pernah membeli 230 Boeing 737 senilai US$ 22,4 miliar di 2011. Setahun kemudian membeli lagi sekitar 234 pesawat Airbus dengan total nilai US$ 23,8 miliar.

Tahun ini, meski dibantah, Lion dikabarkan sudah membeli 50 pesawat Bombardier tipe CS300 senilai US$ 3,6 miliar. "Sampai sekarang belum ada tindak lanjutnya," tulis Edward Sirait, Direktur Umum Lion Air ke KONTAN. Yang jelas, Lion Air tahun ini mendatangkan sekitar 38 pesawat.

Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terjadi di PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA). Hendrito Harjono, Direktur Keuangan Garuda Indonesia memastikan hingga saat ini agenda pembelian pesawat masih sesuai dengan jadwal. Adapun efek rupiah yang kurang tenaga masih bisa Garuda kompensasi dengan pendapatan dari mata uang dollar AS.

Pujobroto, Vice President Communication Garuda Indonesia menjelaskan lebih lanjut komposisi pendapatan Garuda adalah sekitar 55% dari mata uang rupiah, dan 45% dari dollar AS.

Namun ia mengakui kalau efek pelemahan rupiah berpengaruh terhadap biaya operasional Garuda. Lantara sekitar 60% dari biaya operasional berdenominasi dollar AS. Seperti untuk membayar sewa pesawat biaya pembelian bahan bakar, pembelinan suku cadang pesawat atau biaya pendaratan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Markus Sumartomjon