KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Vladimir Putin berusaha menunjukkan kepada dunia bahwa meskipun Rusia telah dijatuhi sanksi berat dan dikucilkan oleh Barat, Rusia tetap kuat di panggung internasional. Salah satu langkah strategis yang diambilnya adalah mengadakan KTT BRICS di Kazan, yang dihadiri oleh lebih dari 20 kepala negara, termasuk Presiden Tiongkok Xi Jinping, Perdana Menteri India Narendra Modi, dan Presiden Iran Masoud Pezeshkian. KTT ini dipromosikan Kremlin sebagai salah satu acara kebijakan luar negeri terbesar yang pernah digelar di Rusia. Menurut Chris Weafer, mitra pendiri di firma konsultan Macro-Advisory, pesan utamanya adalah bahwa upaya untuk mengisolasi Rusia telah gagal.
Rusia ingin menampilkan bahwa meskipun ada retakan di bawah permukaan ekonominya, secara geopolitik negara ini tetap memiliki banyak mitra internasional.
Baca Juga: Inggris Pinjamkan US$3 Miliar kepada Ukraina, dari Mana Sumber Dananya? BRICS: Penyeimbang Dominasi Barat
BRICS, yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, kerap dianggap sebagai penyeimbang terhadap dominasi ekonomi Barat. Grup ini telah berkembang dengan menambahkan negara-negara seperti Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab. Bahkan Arab Saudi diundang untuk bergabung, menambah bobot geopolitik dari aliansi ini. BRICS kini mewakili sekitar 45% populasi global, dan gabungan ekonomi negara-negara anggotanya bernilai lebih dari $28,5 triliun, atau sekitar 28% ekonomi dunia. Dengan potensi pengaruh sebesar ini, Rusia melihat BRICS sebagai kesempatan untuk memperkuat aliansi anti-Barat dan melawan dominasi ekonomi yang dipimpin oleh G7, yang terdiri dari negara-negara ekonomi maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman, dan Inggris.
Tantangan Bagi Rusia dan BRICS
Meskipun Rusia berharap KTT ini akan menunjukkan persatuan di antara anggotanya, tantangan internal dalam BRICS tetap nyata. Salah satu tujuan utama Putin adalah meyakinkan anggota BRICS untuk mengadopsi alternatif selain dolar AS dalam transaksi global. Sanksi yang dijatuhkan Barat telah memukul ekonomi Rusia, terutama dalam perdagangan lintas batas yang masih sangat bergantung pada dolar AS. Rusia berharap menciptakan sistem pembayaran internasional yang bebas dari dominasi mata uang G7, sehingga sanksi Barat tidak lagi efektif. Namun, terdapat perbedaan pandangan di antara anggota BRICS. Jim O'Neill, mantan Kepala Ekonom Goldman Sachs yang menciptakan istilah "BRIC", menyatakan bahwa kesepakatan substansial antara anggota BRICS sulit dicapai.
Baca Juga: Ini Peringatan NATO kepada Rusia dan Korea Utara Konflik antara Tiongkok dan India, dua kekuatan ekonomi terbesar dalam BRICS, kerap menjadi penghalang utama bagi kerjasama yang lebih erat. Selain itu, ketegangan antara anggota baru BRICS seperti Mesir dan Ethiopia juga menambah kerumitan. Hubungan antara Iran dan Arab Saudi, yang baru-baru ini membaik, juga masih menyisakan ketegangan di bawah permukaan.
Peran Rusia di Tengah Perpecahan
Di tengah berbagai perbedaan di dalam BRICS, tugas Putin di Kazan adalah menyatukan narasi bahwa Rusia tidak terisolasi. Meskipun banyak negara BRICS memiliki hubungan baik dengan Barat, Rusia berusaha mengarahkan perhatian pada kerja sama yang dapat menantang dominasi ekonomi Barat. Di sisi lain, negara seperti India mungkin tetap ingin menjaga hubungan baik dengan negara-negara Barat, membuat tugas Rusia semakin kompleks. Meski demikian, bagi Putin, KTT ini lebih dari sekadar platform diplomatik. Ini adalah kesempatan untuk menunjukkan kepada publik Rusia dan komunitas internasional bahwa Rusia masih mampu memainkan peran penting di kancah global, bahkan saat Barat berusaha untuk meminggirkan mereka.
BRICS dan Upaya Membentuk Tata Dunia Baru
Dalam narasi anti-Barat yang kerap diusung Rusia, BRICS adalah kunci untuk menciptakan "tata dunia baru" yang lebih berimbang dan tidak didominasi oleh kekuatan-kekuatan Barat.
Baca Juga: Intelijen Korsel Buktikan 1.500 Pasukan Khusus Korea Utara Telah Dikirim ke Rusia Namun, untuk mencapai tujuan ini, Rusia perlu menavigasi hubungan yang rumit dengan setiap anggota BRICS, sambil mengabaikan ketidaksepakatan internal yang dapat melemahkan pengaruh kolektif mereka. Dalam skenario ini, kesuksesan Putin di Kazan bergantung pada kemampuannya untuk menunjukkan bahwa Rusia memiliki aliansi kuat di seluruh dunia, meskipun secara nyata tantangan besar masih menghadang di dalam tubuh BRICS itu sendiri.
Editor: Handoyo .