Rusia Persiapkan Senjata Bertenaga Nuklir di Ruang Angkasa



KONTAN.CO.ID - Penyelidikan intelijen AS menemukan bahwa Rusia saat ini sedang mempersiapkan sistem senjata bertenaga nuklir yang nantinya akan ditempatkan di ruang angkasa.

Melansir Reuters, para pengamat yang memantau program mengatakan bahwa sistem persenjataan tersebut nantinya akan berfungsi untuk melakukan serangkaian serangan terhadap satelit.

Beberapa perangkat bisa saja muncul, termasuk pengacau sinyal, senjata yang dapat membutakan sensor gambar, atau bahkan tekanan gelombang elektromagnetik (EMP) yang dapat merusak semua sistem elektronik satelit dalam wilayah orbit tertentu.


Baca Juga: Militer Rusia Diduga Gunakan Rudal Hipersonik Zircon untuk Menyerang Ukraina

Peneliti dari Arms Control Association (Asosiasi Pengendalian Senjata) percaya bahwa untuk saat ini Rusia tidak akan menempatkan senjata nuklir yang berbahaya.

"Rusia sedang mengembangkan sistem yang ditenagai oleh nuklir, yang memiliki kemampuan peperangan elektronik saat berada di orbit lebih mungkin terjadi dibandingkan teori bahwa Rusia sedang mengembangkan senjata yang membawa hulu ledak nuklir yang dapat meledak," kata Daryl Kimball, direktur eksekutif asosiasi tersebut.

Sementara itu, laporan Defence Intelligence Agency (Badan Intelijen Pertahanan) AS mengatakan Rusia sedang mengembangkan serangkaian senjata yang dirancang untuk menargetkan masing-masing satelit.

Baca Juga: Ketimbang Trump, Putin Lebih Menyukai Biden untuk Jadi Presiden AS

Perkiraan lainnya adalah sebuah sistem berkekuatan lebih tinggi yang memperluas ancaman terhadap struktur semua satelit.

Pada tahun 2021, Rusia mengikuti jejak AS, Tiongkok, dan India dengan menguji rudal anti-satelit yang merusak pada salah satu satelit lamanya. 

Laporan intelijen mengenai senjata nuklir Rusia di ruang angkasa terungkap pada 14 Februari setelah anggota DPR Mike Turner, ketua komite intelijen DPR AS dari Partai Republik, mengeluarkan pernyataan ang memperingatkan adanya ancaman keamanan nasional yang serius.

Merespons laporan tersebut, Kremlin pada 15 Februari menyebutnya sebagai "rekayasa yang jahat".