Rusia Serang Ukraina, BI Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2022, seiring dengan ketidakpastian pasar keuangan yang meningkat dan eskalasi ketegangan geopolitik Rusia - Ukraina. 

Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, ada dua skenario prospek pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini dengan menimbang kondisi global terkini. 

“Kami perkirakan pertumbuhan ekonomi global bisa turun menjadi 4,2% yoy. Kalau ketidakpastian berlanjut, maka pertumbuhan bisa turun menjadi 3,8% yoy,” ujar Perry, Kamis (17/3) dalam pembacaan hasil Rapat Dewan Gubernur BI Maret 2022. 


Perry menjelaskan, eskalasi ketegangan geopolitik yang diikuti dengan pengenaan sanksi berbagai negara terhadap Rusia memengaruhi transaksi perdagangan, pergerakan harga komoditas, dan pasar keuangan global. 

Baca Juga: Sokong Pemulihan Ekonomi Indonesia, BI Siapkan 5 Kebijakan Strategis

Padahal, sebelumnya kondisi global sudah membalik setelah penyebaran Covid-19 mulai mereda dan mulai ada relaksasi pembatasan mobilitas di berbagai negara. 

“Dengan kondisi ini, pertumbuhan berbagai negara seperti Eropa, Amerika Serikat (AS), Jepang, China, dan India berpotensi lebih rendah dari perkiraan sebelumnya,” jelas Perry. 

Volume perdagangan dunia juga berpotensi lebih rendah dari perkiraan sebelumnya, sejalan dengan risiko tertahannya perbaikan ekonomi global dan gangguan rantai pasokan yang masih berlangsung. 

Risiko inflasi global juga muncul, seiring dengan harga komoditas yang meningkat, termasuk komoditas energi, pangan, dan logam. 

Baca Juga: BI Beberkan Dampak Perang Rusia-Ukraina Terhadap Perekonomian Indonesia

Tekanan inflasi ini kemudian akan memunculkan ketidakpastian di pasar keuangan global, karena bank-bank sentral negara maju termasuk AS akan mulai percepatan normalisasi kebijakan moneter di negara masing-masing. 

“Hal tersebut mengakibatkan terbatasnya aliran modal, seiring dengan risiko pembalikan arus modal ke aset yang dianggap aman (safe haven asset), dan tekanan nilai tukar negara berkembang, termasuk Indonesia,” tandas Perry. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi