Rusia tolak pemberian sanksi atas militer Myanmar, ini alasannya



KONTAN.CO.ID - MOSKOW. Rusia pada Selasa (6 April) menentang sanksi terhadap junta di Myanmar, memperingatkan tindakan hukuman bisa memicu perang saudara skala besar di negara itu.

"Jalan menuju ancaman dan tekanan termasuk penggunaan sanksi terhadap Pemerintah Myanmar saat ini tidak memiliki masa depan dan sangat berbahaya," kata Kementerian Luar Negeri Rusia, seperti dikutip kantor berita Interfax.

"Kebijakan semacam itu akan mendorong orang Myanmar menuju konflik sipil yang parah," sebut Kementerian Luar Negeri Rusia, seperti dilansir Channel News Asia.


Myanmar berada dalam kekacauan sejak kudeta 1 Februari yang menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi dan menggagalkan eksperimen negara itu dengan demokrasi.

Menurut kelompok pemantau lokal, lebih dari 550 orang telah tewas dalam protes anti-kudeta.

Baca Juga: Respons tindakan keras tentara, demonstran Myanmar mengecat Yangon dengan warna merah

Kekuatan internasional telah berusaha untuk menambah tekanan pada militer Myanmar dengan mencapai kepentingan bisnisnya yang luas, termasuk perdagangan giok dan ruby ​​yang menguntungkan.

Namun, sejauh ini, baik sanksi maupun seruan untuk menahan diri tidak menunjukkan tanda-tanda menahan junta Myanmar untuk memadamkan protes yang meluas.

Minggu lalu, Dewan Keamanan PBB dengan suara bulat "menyatakan keprihatinan yang mendalam atas situasi yang memburuk dengan cepat".

Rusia telah berusaha untuk mengembangkan hubungan dengan junta militer. Wakil Menteri Pertahanan Rusia Alexander Fomin bergabung dalam parade tahunan bulan lalu yang memamerkan kehebatan militer Myanmar.

Ketika rezim mengadakan parade untuk Hari Angkatan Bersenjata, lebih dari seratus orang Myanmar terbunuh selama aksi protes.

Pada parade tersebut, Rusia memamerkan peralatan militernya termasuk tank T-72, jet tempur MiG-29, dan helikopter Mi-24.

Selanjutnya: Junta Militer Myanmar dakwa Aung San Suu Kyi melanggar undang-undang rahasia negara

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: S.S. Kurniawan