KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif menjelaskan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) diperlukan sebagai regulasi komprehensif demi menciptakan iklim pengembangan EBT yang berkelanjutan dan berkeadilan. “Di samping untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) dan Net Zero Emission (NZE), RUU EBET juga mendukung pembangunan
green industry dan pertumbuhan ekonomi nasional,” jelasnya dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR RI, Selasa (24/1). Menteri ESDM berharap setelah terbitnya RUU EBET dapat memberikan kepastian dan landasan hukum bagi pengembangan energi hijau dan program pendukungnya. Selain itu, dia berharap kebijakan ini dapat memfasilitasi optimalisasi sumber daya EBT, memperkuat kelembagaan dan tata kelola EBT, serta menciptakan iklim investasi kondusif bagi investor energi hijau.
Baca Juga: RUU EBET, Pelaku Usaha Panas Bumi Harapkan Pemerintah Fasilitasi Skema Power Wheeling “Peran penting dari RUU EBET antara lain adalah, memberikan kesempatan akses, dan atau partisipasi kepada masyarakat untuk penyediaan dan pemanfaatan energi baru energi terbarukan,” ujarnya. Selain itu, regulasi ini juga akan mempercepat pengembangan sejumlah energi terbarukan seperti panas bumi, air, surya, angin, laut, dan bioenergi. Lewat kebijakan ini juga akan mengatur harga jual EBET seperti
Feed in Tariff (FIT), harga patokan tertinggi dan kesepakatan. Kemudian juga mendorong Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) dengan mempertimbangkan ketersediaan kemampuan dalam negeri yang belum cukup tersedia dan menjaga harga EBET tetap kompetitif. Peran penting RUU EBET lainnya ialah penguatan insentif fiskal dan non fiskal kepada pelaku usaha. Kemudian, penyediaan dukungan pemerintah berupa penyediaan tanah, infrastruktur, pembiayaan kepada BUMN dan Badan Usaha dan penjaminan pada BUMN serta pendanaan.
Baca Juga: Sejumlah Pelaku Usaha Kecewa Skema Power Wheeling Dicabut dari DIM RUU EBET Menteri ESDM menjelaskan, sistematika RUU EBET terdiri dari 14 bab, 62 pasal dan 574 DIM. Hasil pembahasan internal pemerintah terdapat 10 pasal tetap, 49 pasal diubah, 13 penambahan pasal baru, dan 3 pasal dihapus. Kemudian dari 49 pasal tersebut yang diubah ada 23 pasal perubahan bersifat substantif dan 26 pasal perubahan tidak substantif. Melirik keberhasilan negara lain dalam pengembangan EBT, Arifin memberikan gambaran kebijakan yang diambil oleh India. Negara Bollywood ini mencanangkan target EBT hingga 500 GW pada 2030 dan sampai dengan saat ini kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan sudah mencapai hingga 259,95 GW. “Di sana ada faktor pendorong pengamanan faktor energi, penyediaan akses energi yang bersifat universal untuk mencapai target perubahan iklim,” ujarnya. Kebijakan utama yang dilaksanakan oleh India antara lain kebijakan
Feed In Tariff pada 2009, kemudian dana EBT yang dimulai pada 2010 melalui dukungan pembiayaan National Clean Energy Fund (INCEF) dari pajak batubara. Dana ini dikelola oleh Indian Renewable Energy Development Agency Limited (IREDA).
Baca Juga: RUU EBT Akan Dibahas, Ekonom Ini Wanti-Wanti Soal Skema Power Wheeling Jangan Lolos Kemudian pengalokasian dana
riset and development EBT, insentif fiskal dan keuangan berupa pembebasan pajak pendapatan, pajak impor barang energi terbarukan, PPN,
tax holiday, dan adanya
Generation Based Incentives. India juga melakukan pengembangan industri manufaktur tenaga listrik surya, melalui skema insentif terkait produksi kepada produsen asing untuk memproduksi di India dan produsen dalam negeri untuk memperluas produksi dan ekspor sebesar US$ 2,41 miliar. “India juga memfasilitasi investasi asing dalam perekonomian. FDI 2021-2022 sektor energi meningkat mencapai US$ 1,6 miliar dari US$ 414,25 juta pada 2013-2014 sebelum periode Make In India,” terangnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .