RUU EBET Urung Disahkan, Picu Ketidakpastian Iklim Investasi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) gagal mengesahkan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) pada periode 2019-2024.

RUU yang sudah disampaikan DPR kepada pemerintah sejak 14 Juni 2022 ini masih harus kembali diteruskan pembahasannya pada periode 2024-2029, terutama pembahasan terkait sewa jaringan.

Kesepakatan yang masih alot mengenai pembahasan substansi Pemanfaatan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT) atau sewa jaringan menjadi penyebab RUU ini tak kunjung diketok. DPR dan pemerintah masih belum sepakat terkait norma tentang Power Wheeling.


RUU EBET yang tidak rampung pada periode ini menandai ketidakseriusan pemerintah terhadap Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Ditundanya pengesahan RUU EBET ini pula menimbulkan persepsi ketidakpastian bagi para iklim investasi di sektor EBT.

Baca Juga: Gaet Investor Asing, Pemerintah akan Dorong Kawasan Industri Berbasis Energi Bersih

Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno menyatakan pihaknya akan melakukan proses carry over (meneruskan) RUU EBET yang akan dibahas kembali di DPR periode 2024-2029.

Proses carry over ini untuk menuntaskan butir permasalahan yang belum terselesaikan terkait power wheeling saja karena hal-hal lain sudah disepakati dan sudah ada kesepakatan antara DPR dan pemerintah.

"Tidak akan bikin investor angkat kaki [RUU EBET belum disahkan], karena hanya penundaan saja, bukan pembatalan RUU EBET," kata Eddy kepada Kontan, Rabu (18/9).

Senada, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi mengungkapkan, Ketua Komisi VII DPR sudah mengatakan RUU EBET di carry over ke kabinet berikutnya.

Adapun, kata Eniya, penundaan pengesahan RUU EBET tidak ada dampaknya ke pengembangan EBT sebab poin penting RUU EBET adalah insentif renewable energy-nya.

"Sudah disepakati ada transmisi [terkait Power Wheeling] yang akan ditanggung semuanya oleh negara, negara tetap hadir. Renewable energy yang kita inginkan adalah bisa cepat terakselerasi dengan berbagai insentif yang ada," kata Eniya saat ditemui di Jakarta, Rabu (18/9).

Eniya menambahkan, kebijakan politis membuat RUU EBET di carry over ke kabinet berikutnya. "Kita tunggu saja biar cepat," sambungnya.

Baca Juga: Jaring Investasi, Pemerintah Siap Kembangkan Kawasan Industri Berbasis Energi Bersih

Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, menjelaskan dengan pembatalan rapat pengambilan keputusan tingkat I hari ini, maka otomatis RUU EBET ini tidak dapat disahkan oleh DPR RI Periode 2019-2024.

"Kami berharap dengan pembatalan ini pembahasan RUU EBET oleh DPR dan Pemerintah periode mendatang bisa semakin matang, terutama terkait norma power wheeling," kata Mulyanto.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta (APLSI), Arthur Simatupang menilai RUU EBET merupakan suatu regulasi yang sangat ditunggu-tunggu dan dibutuhkan dari dunia usaha di sektor EBT.

"Penundaan [RUU EBET] akan menimbulkan persepsi ketidakpastian," kata Arthur kepada Kontan, Rabu (18/9).

Berbeda, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Mada Ayu Habsari mengatakan pengesahan RUU EBET akan mundur di periode berikutnya, namun berdasarkan informasi yang didapatkan AESI tidak akan lama lagi disahkan karena sudah diujung pembahasannya.

"Tidak ada dampak signifikan atas mundurnya pengesahan RUU EBET ini," tandasnya kepada Kontan, Rabu (18/9).

Baca Juga: Impor Migas Indonesia Terus Melonjak, Apa yang Harus Dilakukan?

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa memandang kegagalan pemerintah dan DPR dalam merampungkan RUU EBET akan menimbulkan ketidakpastian bagi iklim investasi energi terbarukan.

Selain itu, ketidakberhasilan DPR mengesahkan RUU EBET ini akan dipersepsikan oleh investor bahwa pemerintah dan DPR tidak serius dengan energi terbarukan.

"RUU ini kan bermula dari inisiatif DPR pada 2018, masuk ke prolegnas DPR 2019-2024 dan harusnya sudah beberapa tahun yang lalu selesai, tapi tertunda. Nah ini tidak selesain lagi di carry over, sebenarnya serius tidak pemerintah dan DPR?," ujar Fabby kepada Kontan, Rabu (18/9).

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama Komisi VII DPR RI telah membahas seluruh pasal yang berjumlah 63 pasal dengan 61 pasal telah disepakati dan 2 pasal masih belum disepakati dalam RUU EBET.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi menyampaikan proses pembahasan RUU EBET telah selesai, namun masih menyisakan 2 pasal yang belum mencapai kesepakatan terutama terkait PBJT atau sewa jaringan

"Pemerintah sebagai tim perumus telah menyampaikan kepada Komisi VII DPR RI, dan Komisi VII juga sudah paham dengan pasal tersebut, rapatnya masih ditunda. Nah ini kemarin kalau tidak selesai di sini berarti periode tahun depan, tetapi periode tahun depan mungkin bisa dipercepat juga karena Pak Menteri [ESDM Bahlil Lahadalia] eager segera selesai,” ujar Eniya saat Temu Media di Jakarta, Senin (9/10).

Baca Juga: Pasokan Listrik EBT Terus Bertambah, PLN Bakal Operasikan PLTA Jatigede 110 MW

Kontan mencatat, berdasarkan data dari ESDM hingga semester I-2024 realisasi bauran energi dari pembangkit Energi Baru dan Terbarukan (EBT) baru mencapai 13,93%. Angka tersebut masih jauh dari target yang ditetapkan pada Kebijakan Energi Nasional sebesar 23% pada 2025. Hingga akhir tahun ini realisasi bauran EBT ditargetkan menyentuh 19,5% listrik dari EBT.

Kapasitas terpasang pembangkit listrik EBT hingga Agustus 2024 mencapai 241,06 megawatt (MW) atau 73,7% dari target 326,9 MW dan diproyeksikan sampai dengan Desember 2024 kapasitas pembangkit EBT akan mencapai 650,99 MW.

Penambahan kapasitas tersebut akan ditopang oleh pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap sejalan dengan terbitnya Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 2 Tahun 2024.

Kementerian ESDM juga melaporkan realisasi investasi di subsektor EBTKE sampai dengan Agustus 2024 baru mencapai US$ 580 juta atau 46,8% dari target tahun ini yang dipatok US$ 1,23 miliar.

Sampai tahun 2025 masih perlu 8.224,1 MW atau 8,2 Gigawatt (GW). Di mana ini investasi yang diperlukan adalah USD14 miliar. Terdiri dari berbagai macam jenis EBT, ada biomasa, biogas, sampah, geothermal, air, hidro, baterai, dan seterusnya. Nah, ini yang diperlukan," ujar Eniya.

Selanjutnya, menurut Eniya, investasi akan lebih terakselerasi dengan adanya terobosan melalui pengaturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang telah diatur melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2024 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri Untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.

"Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2024 adalah debottleneck dari isu investasi di subsektor EBT. Isu TKDN menjadi hal krusial yang disebut-sebut menghambat investasi, sehingga kita sudah keluarkan aturan baru terkait TKDN proyek EBT. Dengan adanya aturan itu, investasi mulai berjalan," tandas Eniya.

Baca Juga: Investasi Rendah, Realisasi Bauran Energi Hijau Minim

Eniya mencontohkan, beberapa proyek EBT yang berlanjut setelah keluarnya aturan TKDN, antara lain proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung yang kini sudah Power Purchase Agreement (PPA), yakni PLTS Terapung Singkarak dan Saguling, serta PLTS Terapung Karangkates yang hingga tahap penandatanganan Letter of Intent (LoI). Selain itu, Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) Hululais, Dieng, Dieng 2, dan Patuha 2 juga langsung bergerak setelah terbitnya aturan tersebut.

Adapun, Eniya bilang butuh penambahan kapasitas pembangkit EBT hingga 8,2 gigawatt (GW) untuk bisa menaikkan bauran EBT menjadi 21% pada tahun depan. Untuk merealisasikannya membutuhkan investasi sebesar US$14,2 miliar atau sekitar Rp 220,9 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .