RUU Kepailitan dan PKPU tuai kontroversi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kelompok Kerja (Pokja) revisi Undang-Undang (UU) 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) memasukkan 17 poin perubahan. Poin-poin itu masuk dalam naskah akademik untuk segera dibahas antara DPR dan pemerintah.

Anggota tim Pokja Revisi UU Kepailitan dan PKPU Imran Nating menjelaskan, sebanyak 17 poin tersebut masih akan difinalisasi sehingga bisa berubah, baik bertambah ataupun dihapus. Namun yang pasti, naskah akademik RUU Kepailitan dan PKPU ini ditargetkan rampung pada Oktober mendatang.

Sebanyak 17 poin perubahan itu, antara lain, adanya minimum pengajuan PKPU dan pailit sebesar Rp 500 juta. Sebelumnya, aturan ini tidak ada. Juga ada poin perlunya mekanisme tes insolvensi atau ujicoba keuangan sebagai tolok ukur kemampuan debitur membayar utang.


Menurut Imran, mekanisme ini menjadi salah satu yang menuai kontroversi. Sebab, tes insolvensi diusulkan untuk dilakukan sebelum adanya ketukan palu hakim yang menyatakan debitur pailit. Pasalnya, untuk mengetahui kemampuan debitur, kreditur pemohon perlu mengetahui laporan keuangan debitur.

Imran mengaku pesimis poin ini bisa dijalankan di Indonesia. "Tes insolvensi ini sulit, karena hanya perusahaan tercatat di bursa saham yang bisa diakses laporan keuangannya," jelas Imran kepada KONTAN, Minggu (5/8). Dengan alasan itulah, saat ini ada ada usulan untuk menghapus poin ini dari naskah akademik.

Pakar hukum kepailitan Ricardo Simanjuntak menilai, munculnya poin tes insolvensi dalam naskah akademik ini berpotensi melanggar hukum acara perdata.

"Barangsiapa yang mendalilkan, maka dia harus membuktikan. Bagaimana bisa pemohon pailit membuktikan termohon pailit bahwa dia tak mampu membayar utangnya bila tak bisa mengakses laporan keuangan termohon," kata Ricardo kepada KONTAN.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie