RUU KUP, jalan intensifikasi pajak terbuka



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Fraksi-fraksi dalam Komisi XI DPR RI tengah melakukan pembahasan soal revisi UU No. 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Saat ini, masing-masing fraksi tengah mempersiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).

Namun, masih ada hal-hal dalam revisi UU tersebut yang memberatkan dari sisi pengusaha. Ketua Hipmi Tax Center Ajib Hamdani menyatakan, dalam RUU KUP, ada salah satu pasal yang sengaja diubah oleh pemerintah untuk melakukan intensifikasi pajak. Padahal, dunia usaha kerap menyuarakan kepada Ditjen Pajak untuk melakukan ekstensifikasi ketimbang intensifikasi.

Pasal tersebut ialah soal pemeriksaan berulang. Dalam draf RUU yang dimiliki KONTAN, hal itu tertera dalam Pasal 59 yakni terhadap tahun pajak yang sama memungkinkan WP untuk diperiksa secara berulang.


Pasal itu berbunyi, “Surat Ketetapan Pajak yang menyatakan kurang bayar masih dapat diterbitkan, dalam hal pajak yang kurang dibayar jumlahnya lebih besar dari kekurangan pembayaran pajak yang telah ditetapkan.”

Menurut Ajib, hal ini tidak cocok dengan filosofi pajak di Indonesia yang self assesment di mana WP dianggap benar sampai masa daluwarsa pajak selesai atau ketika sebelum masa daluwarsa pajak selesai ditemukan data atau laporan WP tidak benar.

“Sebuah ketetapan yang telah diterbitkan oleh Kantor pajak, dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah sebuah koreksi dari penghitungan pajak secara self assesment oleh WP. Artinya, kantor pajak telah melakukan mekanisme pemeriksaan secara komprehensif atas seluruh pajaknya,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Jumat (9/12).

Adapun kemudian SKPKB tersebut menjadi sebuah produk hukum yang menjadi dasar penagihan pajak. Tetapi dalam RUU yang baru, kantor pajak masih bisa kembali menerbitkan SKP atas tahun yang sama. Hal ini bisa menimbulkan ketidakpastian hukum.

“Dalam RUU yang baru, WP bisa diberikan SKP lagi sehingga kepastian hukum tidak ada. Padahal kita sudah anggap bayar pajak dengan benar. Anda bisa bayangkan sampai kapan ini kita punya kepastian hukum?” ujarnya.

Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak Arif Yanuar menjelaskan, pemeriksaan bisa berkali-kali adalah karena pemeriksaan sebenarnya harus dimulai pada saat Ditjen Pajak memiliki data. 

Ia menekankan, setelah pemeriksaannya ini, Ditjen Pajak berangkat ke penagihannya, “Setelah di SKP seperti apa? Sehingga pemeriksaan tidak berangkat dari data absurd,” ucapnya.

Arif melanjutkan, soal pemeriksaan berulang dalam RUU KUP tidak bisa hanya dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Sebab, dalam RUU ini juga melonggarkan pasal yang mengatur soal WP apabila melakukan klarifikasi di mana pengenaan sanksinya lebih adil.

Ketentuan saat ini, besaran sanksi administrasi berupa bunga tidak dibedakan antara self assessment dan official assessment. Self assessment misalnya terlambat bayar, pembetulan SPT, penundaan atau mengangsur pembayaran.

Sementara itu, official assessment adalah besaran sanksi administrasi yang dikenakan apabila berdasarkan pemeriksaan. Saat ini, baik official maupun self assessment, keduanya sama-sama dikenakan 2% per bulan.

Ke depannya, menurut Arif, sanksi bagi yang melakukan self assessment akan lebih kecil, yakni 1% per bulan. Sementara, sanksi administrasi karena pemeriksaan adalah 2% per bulan.

“Tujuannya adalah mendorong kepatuhan sukarela melalui self assessment. Jadi kalau dilihat keseluruhan KUP sendiri memang perubahannya bukan hanya tata cara penagihannya, tapi pemeriksaannya juga sudah berubah,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini