KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tengah mengebut penyelesaian Revisi Undang-Undang No. 04 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Rencananya, beleid ini bisa selesai pada Juli 2018. Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya W Yudha mengatakan saat ini Komisi VII sudah menyiapkan draf RUU Minerba, yang sudah dibahas dengan Badan Legislasi (Baleg). Setelah dari Baleg, maka draf RUU ini akan dibahs di paripuna yang kemudian untuk dibentuk Panitia Khusus (Pansus) pembahasan bersama dengan pemerintah. “Target penyelesaiannya Juni-Juli, ini lebih cepat dibanding RUU Migas. Jadi sudah ada komunikasi intens dengan Baleg,” terang Satya saat ditemui di Hotel JW Mariot, Jakarta, Rabu (21/3).
Sesuai dengan draf RUU Minerba 24 Januari 2018 yang diperoleh oleh KONTAN banyak perubahan signifikan dalam UU Minerba sebelumnya. Yang menarik adalah, berkaitan dengan kebijakan insentif fiskal bagi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) maupun Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Di dalam Pasal 103 draf RUU Minerba itu disebutkan, pemegang IUP atau IUPK yang melakukan pengolahan dan pemurnian sendiri atau smelter, serta melakukan peningkatan nilai tambah batubara lewat pembangunan PLTU akan mendapat insentif fiskal dan non fiskal. Insentif non fiskalnya berupa mendapatkan hak perpanjangan izin operasi secara langsung selama 20 tahun. Juga, mendapatkan perpanjangan lagi selama 2x10 tahun. Bahkan, tidak mendapat pengurangan luas wilayah saat mendapatkan perpanjangan izin operasi. Satya bilang, akan ada insentif untuk perusahaan pertambangan yang melakukan hilirisasi. “Bentuk insentifnya biar orang semangat. Kan sekarang kita ngomongin hilirisasi buktinya mana? Makanya sekarang posisi RUU itu harus dengan semangat supaya memudahkan investasi, merealisasikan pertumbuhan industri,” terangnya. Selanjutnya, untuk Pasal 170, disebutkan baik Kontrak Karya (KK), IUP dan IUPK wajib melakukan pengolahan dan pemurnian paling lama dua tahun sejak UU Minerba diundangkan. Juga, untuk yang sedang membangun dapat melakukan penjualan produk dan hasil pengolahn dan pemurnian dalam jumlah tertentu paling lama dua tahun sejak diundangkan, serta membayar bea keluar. Sementara untuk Pasal 112 mengenai kewajiban divestasi saham 51% tidak menjabarkan mengenai waktu penyelesaian divestasi itu. Padahal di UU Minerba saat ini, kewajiban divestasi saham 51% selambat-lambatnya diserahkan lima tahun setelah masa produksi. Malahan di draf RUU Minerba ini disebutkan untuk KK, IUP dan IUPK yang tambangnya terintegarasi
smelter dan PLTU divestasinya bisa dilakukan 10 tahun sejak kegiatan penambangan berlangsung. Pasal lainnya yang berubah adalah Pasal 129 yang menyebut pemegang IUPK OP untuk pertambangan mineral dan batubara wajib membayar sebesar 5% untuk Pemerintah Pusat dan 10% kepada Pemerintah Daerah dari keuntungan bersih sejak berproduksi. Padahal sebelumnya, ditetapkan 1% untuk Pemerintah Pusat dan 2,5% untuk Pemerintah Daerah. Satya menambahkan, jika RUU Minerba ini sudah diundangkan, maka aturan-aturan turunan yang berlaku saat ini seperti Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Menteri (Permen) akan gugur. “Semua akan hilang,” urainya. Yang menjadi jantung dalam RUU Minerba, kata Satya adalah hilirisasi. Pasalnya hiliriasi selalu diberikan relaksasi melalui PP yang terbit.
“Makanya kita jawab di dalam revisi itu. Revisi itu supaya tidak muncul relaksasi-relaksasi seperti itu. Jadi hilirisasinya jalan supaya apa, kementerian perindustrian betul-betul menunggu realisasi dari pertumbuhan industrialisasi
smelter,” tandas Satya. Dikonfirmasi mengenai hal ini, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, pihaknya menunggu arahan dari DPR selaku pemegang penuh atas RUU Minerba ini. “Saya berharap, supaya bisa dimungkinkan di UU Minerba pengalihan IUP dari perusahaan eksplorasi ke perusahaan pertambangan,” ujar Bambang. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi