KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) atau Omnibus Law Keuangan kembali mencuat diperbincangkan. Sebagai informasi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku legislatif telah menetapkan RUU P2SK masuk sebagai Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas) Tahun 2022. RUU P2SK ini menjadi RUU inisiatif DPR yang selanjutnya akan dibahas bersama Pemerintah menjadi UU. Adapun, status RUU P2SK saat ini masih dalam tahap Konsultasi Publik.
Para ekonom menyebut, keberadaan RUU P2SK sangat urgen. Pasalnya, RUU ini akan memperkuat regulasi yang mengatur sektor jasa keuangan di Indonesia.
Baca Juga: Aspakrindo Minta Bappebti Ikut Terlibat Jadi Regulator Aset Kripto dalam RUU P2SK Ekonom dan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Sri Adiningsih mengatakan, sistem keuangan di Indonesia terus bertumbuh dan berkembang. Oleh sebab itu, dengan makin berkembang dan majunya sektor keuangan di Indonesia, maka risiko dan tantangan yang dihadapi juga ikut berubah seiring terjadinya disrupsi. "
Regulatory framework (kerangka regulasi) sektor jasa keuangan di Indonesia memang perlu diperbaiki. Bukan hanya untuk merespon, akan tetapi dapat mengantisipasi perkembangan yang terjadi di sektor jasa keuangan hingga saat ini," kata Sri dalam sesi Diskusi Publik bertajuk "Ke Mana Arah RUU P2SK dalam Penguatan Sektor Jasa Keuangan di Indonesia?" yang digelar di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Jumat (4/11). Sri menjelaskan, ke depan sektor jasa keuangan akan bertumbuh luar biasa. Isu seperti Fintech, Asuransi, digitalisasi pada sektor jasa keuangan, termasuk risiko lainnya yang akan muncul ke depan. "Semakin kompleks sektor jasa keuangan, seperti perusahaan Fintech yang masuk secara langsung maupun tidak langsung dan disintermediasi yang terjadi di sektor jasa keuangan," ujarnya. Sehingga, kata Sri, RUU P2SK diperlukan untuk memperkuat
regulatory framework di sektor jasa keuangan. Senada, Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah menjelaskan, saat ini sudah banyak terjadi di sektor jasa keuangan yang belum ter-
cover dalam peraturan perundang-undangan, baik di Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). "Jadi, kita membutuhkan payung hukum yang kuat untuk mengatur dan mengembangkan sistem keuangan di Indonesia, terutama dengan adanya kemajuan digital pada bidang ekonomi sehingga membuat semakin kompleks" kata Piter. Menurutnya, banyak hal yang perlu diatur bukan hanya dilakukan satu per satu secara parsial, sehingga dimasukkan semuanya ke dalam sebuah Omnibus Law Keuangan agar bisa dilakukan secara bersama.
Baca Juga: Regulasi Aset Kripto Bakal Diatur OJK dan BI di RUU P2SK, Ini Tanggapan Bappebti Sementara itu, di kesempatan yang sama, Guru Besar Universitas Hayam Wuruk (Perbanas) Abdul Mongid mengatakan, ke depan Indonesia akan menghadap situasi yang sangat berbeda, pada industri, bisnis, dan sumber krisis yang berbeda. Abdul berharap, ada kesadaran
macro prudential regulatory yang harus melekat pada semua lembaga, baik OJK, BI, dan LPS. "Selama ini seolah-olah OJK di
micro prudential regulatory dan BI di
macro prudential regulatory," pungkasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .