JAKARTA. Rancangan undang-undang (RUU) tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar (P3L) dianggap masih berantakan. Draf undang-undang itu dianggap tidak konsisten terhadap penegakan hukum pidana yang bersifat khusus (lex specialis derogat legi generali)."DPR tidak konsisten mau menciptakan lex specialis. Semuanya campur aduk. Perbuatan administratif dan nonadministratif semua dijadikan satu sanksinya. Tidak bisa seperti itu," tutur pakar hukum pidana Romli Atmasasmita, usai rapat dengan Komisi IV DPR, Kamis (16/6).Sebagai informasi, Komisi IV DPR tengah menyusun RUU P3L agar dapat dijadikan payung hukum untuk menindak pelaku pembalakan hutan secara liar. Pasalnya, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan belum mengakomodasi sanksi dan penindakan terkait pembalakan liar. Undang-undang itu sekedar bersifat pidana administratif.Sayangnya, draft undang-undang yang diharapkan dapat menjadi alat penegakan pidana khusus pembalakan liar itu masih semrawut dan tidak sesuai kaidah hukum yang berlaku. Contohnya saja soal pengklasifikasian pelanggaran yang sifatnya administratif dan nonadministratif. Kedua tindakan yang berbeda itu digabungkan menjadi satu dan mendapat sanksi dengan taraf yang sama.Untuk diketahui, pelanggaran administratif lebih mengarah pada tindakan tidak mengantongi izin, sedangkan pelanggaran nonadministratif lebih pada pengrusakan/pembakaran/pencurian/pengrubahan lahan. "Jadi kedua hal ini jelas beda. Tidak bisa dua hal berbeda dapat satu jenis sanksi yang sama," kata Romli.Lalu menyoal sanksi, dia menilai, hal yang disusun oleh komisi itu terlalu luar biasa. Bahkan, melebihi sanksi hukuman untuk pelaku korupsi. Pada draf undang-undang P3L disebutkan bahwa pelaku pembalakan liar baik korporasi ataupun kelompok masyarakat akan dikenai sanksi penjara minimal lima tahun dan atau denda maksimal Rp5 miliar."Di undang-undang korupsi saja minimal satu tahun. Ini malah lima tahun. Tidak bisa seperti itu. Perumusan undang-undang pidana khusus seharusnya melihat undang-undang pidana khusus yang telah dibuat sebelumnya juga," jelasnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
RUU Pembalakan Liar dianggap tidak konsisten terhadap sistem lex specialis
JAKARTA. Rancangan undang-undang (RUU) tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar (P3L) dianggap masih berantakan. Draf undang-undang itu dianggap tidak konsisten terhadap penegakan hukum pidana yang bersifat khusus (lex specialis derogat legi generali)."DPR tidak konsisten mau menciptakan lex specialis. Semuanya campur aduk. Perbuatan administratif dan nonadministratif semua dijadikan satu sanksinya. Tidak bisa seperti itu," tutur pakar hukum pidana Romli Atmasasmita, usai rapat dengan Komisi IV DPR, Kamis (16/6).Sebagai informasi, Komisi IV DPR tengah menyusun RUU P3L agar dapat dijadikan payung hukum untuk menindak pelaku pembalakan hutan secara liar. Pasalnya, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan belum mengakomodasi sanksi dan penindakan terkait pembalakan liar. Undang-undang itu sekedar bersifat pidana administratif.Sayangnya, draft undang-undang yang diharapkan dapat menjadi alat penegakan pidana khusus pembalakan liar itu masih semrawut dan tidak sesuai kaidah hukum yang berlaku. Contohnya saja soal pengklasifikasian pelanggaran yang sifatnya administratif dan nonadministratif. Kedua tindakan yang berbeda itu digabungkan menjadi satu dan mendapat sanksi dengan taraf yang sama.Untuk diketahui, pelanggaran administratif lebih mengarah pada tindakan tidak mengantongi izin, sedangkan pelanggaran nonadministratif lebih pada pengrusakan/pembakaran/pencurian/pengrubahan lahan. "Jadi kedua hal ini jelas beda. Tidak bisa dua hal berbeda dapat satu jenis sanksi yang sama," kata Romli.Lalu menyoal sanksi, dia menilai, hal yang disusun oleh komisi itu terlalu luar biasa. Bahkan, melebihi sanksi hukuman untuk pelaku korupsi. Pada draf undang-undang P3L disebutkan bahwa pelaku pembalakan liar baik korporasi ataupun kelompok masyarakat akan dikenai sanksi penjara minimal lima tahun dan atau denda maksimal Rp5 miliar."Di undang-undang korupsi saja minimal satu tahun. Ini malah lima tahun. Tidak bisa seperti itu. Perumusan undang-undang pidana khusus seharusnya melihat undang-undang pidana khusus yang telah dibuat sebelumnya juga," jelasnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News