RUU Perlindungan Nelayan mulai dibahas



JAKARTA. Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI membuka pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Pembudidaya Ikan. DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan menghadirkan para pakar perikanan dan kelautan, Senin (15/6). 

Guru Besar Kelautan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Rokhmin Dahuri menjadi salah satu pakar yang dihadirkan dalam pembahasan beleid tersebut. Menurut mantan Menteri Kelautan dan Perikanan era Presiden Megawati Sukarnoputri itu, draft RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Pembudidaya Ikan sudah cukup komplit. Namun, dia memberikan sejumlah saran baik dari sisi lingkungan maupun sisi bisnis. 

Dari sisi lingkungan, Rokhmin memberikan tiga masukan. Pertama, terkait aturan penggunakan kawasan budidaya perikanan dan perikanan tangkap. Rokhmin menegaskan, kawasan yang sudah ditetapkan pemerintah untuk budidaya perikanan dan perikanan tangkap tidak boleh dikonversi untuk kegiatan lainnya. 


“Tarakan pernah menjadi pusat tambak udang, tapi karena walikota berorientasi profit sekarang menjadi mall. Masukan saya di RUU ini, kawasan budidaya perikanan atau perikanan tidak boleh lagi digunakan untuk kegiatan lainnya,” kata Rokhmin. 

Masukan kedua untuk sisi lingkungan yakni pemerintah harus memasukkan dalam beleid tersebut aturan minimal 30% lahan untuk critical habitat. Critical habitat ini diperlukan untuk nursery ground ikan-ikan kecil, seperti mangrove dan terumbu karang. 

Ketiga, Rokhmin juga memberikan masukan agar di dalam RUU tersebut pemerintah mengatur kegiatan ekonomi yang akan berdiri di lingkungan perikanan dan kelautan. 

Dia bilang, apabila perairan pesisirnya membutuhkan kualitas air yang baik, maka penggunaan lahan di sekitarnya tidak boleh untuk kegiatan ekonomi yang mencemari, seperti pabrik tanpa pengolahan limbah. 

“Kalau tidak diatur ini, bagaimanapun Bu Susi jungkir balik, ekosistem tercemari, maka biota laut akan turun,” imbuh Rokhmin. 

Fair trade

Dari sisi bisnis, politisi PDI Perjuangan itu memberikan sejumlah masukan diantaranya dukungan pemerintah terhadap nelayan dan pembudidaya. Rokhmin mencontohkan, pemerintah di Tiongkok bahkan memberikan bermacam-macam subsidi untuk nelayan dan pembudidaya di sana. 

Selain itu, dia juga menyarankan agar diatur bagaimana keuntungan dari produk perikanan dan kelautan, bisa dinikmati lebih banyak oleh nelayan dan pembudidaya. “Kenapa tidak niru Thailand? Keuntungan maksimal yang boleh dinikmati pedagang 30%. Ini untuk memastikan keuntungan baik dari input dan output dinikmati nelayan dan pembudidaya ikan. Kita mau memakmurkan nelayan, bukan pedagang,” kata Rokhmin. 

Kedua, dia memberikan masukan agar pemerintah mengatur kebijakan kredit dan bunga bank untuk nelayan-pembudidaya dan juga petani. Suku bunga pinjaman di Indonesia tahun 2014 mencapai 14 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan Malaysia (4,8%), Filipina (5,7%), Singapura (5,4%), Thailand (7,2%), Australia (7%), Jepang (1,4%), AS (3,3%), dan Canada (3%). 

“Persyaratan pinjam, susah sekali. KUR itu kalau menteri dan presiden berkunjung ada, kalau tidak hadir perbankan tidak mau meminjami nelayan. Harus di UU ini masuk, bunga bank untuk nelayan pembudidaya serta petani. Pantas saja kalau investasi di Thailand lebih mudah, ikan kita akan tercuri terus,” jelas Rokhmin.

Masukan lainnya, Rokhmin meminta pemerintah untuk mengatur Upah Minimum untuk para anak buah kapal (ABK) dan menetapkan garis kemiskinan yang lebih layak, serta tidak mengacu pada garis kemiskinan BPS. 

“Pendapatan minimal nelayan pembudidaya minimal Rp 4 juta per orang per pelaku usaha. Kalau kurang dari itu niscaya miskin terus. ABK tiap orang dapat Rp 4 juta,” kata dia. 

Selain itu, dia juga memberikan masukan agar pemerintah bisa menyediakan pekerjaan subtitusi bagi nelayan selama 3-4 bulan mereka tidak melaut karena cuaca buruk dan paceklik. (Estu Suryowati)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia