RUU Pertembakauan harus dirombak total untuk dibahas



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali membuka pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan yang sempat ditolak Presiden Joko Widodo pada tahun lalu. DPR disarankan merombak total draft RUU tersebut jika masih ingin pembahasan berlanjut. Pasalnya, banyak aturan di RUU Pertembakauan sudah diatur dalam UU yang lain.

Pembahasan ini dilakukan oleh panitia khusus (pansus) DPR dengan mengundang perwakilan pemerintah dan pakar. Direktur Jenderal (Dirjen) Bea Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi menjelaskan, alasan pemerintah menolak pembahasan itu karena menemukan banyak persinggungan isi RUU Pertembakauan dengan UU lain yang sudah ada.

"Totalnya ada 15 UU yang bersinggungan. Termasuk UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang cukai dan UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang kepabeanan," jelas Heru saat rapat dengar pendapat dengan Pansus DPR, Rabu (24/1).


Antara lain Bab V tentang distribusi tata niaga. Pasal 24-26 menyebutkan pelaku usaha yang memasukkan atau mengimpor rokok siap pakai ke dalam wilayah Indonesia dikenakan cukai 200% dari harga penyerahan barang di atas kapal (cost insurance freight).

Adapun, pelaku usaha yang memasukkan atau mengimpor tembakau berupa lembaran daun tembakau, gagang tembakau, sobekan daun yang sudah dipisahkan dari gagangnya baik menggunakan mesin atau tangan/atau rajangan belum siap pakai dan rajangan setengah jadi dikenakan bea masuk paling sedikit 60%. Padahal, berdasarkan UU Cukai, pemerintah menetapkan bea masuk terhadap tembakau sebesar 5%.

Bab VI tentang industri hasil tembakau, Pasal 27–28 juga bersinggungan dengan UU Cukai. "Jangan sampai dengan pengaturan atas objek yang sama atau dengan peraturan yang beririsan ini akan menimbulkan multitafsir sehingga tidak ada kepastian hukum dan lebih jeleknya lagi moral hazard," jelas Heru.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo juga menyoroti rencana bea masuk yang tinggi pada pasal 24–26 draft RUU Pertembakauan. Pasal itu akan sia-sia karena tidak berlaku bagi negara yang telah menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia.

"Hal ini karena ada asas lex spesialis dalam perjanjian bebas Indonesia. Untuk tembakau ada rambu dari WTO, bahwa jenis tembakau itu ada tarif 0-40% maksimal," jelas Yustinus di rapat yang sama.

Yustinus juga khawatir, bila aturan itu dipaksakan hanya akan menguntungkan China dan India. Sebab mereka adalah eksportir tembakau terbesar di dunia dan kedua negara itu sudah memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia. Eksportir tembakau lain yang belum punya perjanjian dengan Indonesia bisa masuk lewat China.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie