JAKARTA. Kegagalan dan pengalaman adalah guru yang terbaik. Itulah filosofi yang dianut S. Budisuharto, Marketing Director & Corporate Secretary PT Siloam International Hospitals. Bagi dia, jika tidak pernah merasakan pahitnya gagal, kita tidak akan tahu rasanya berhasil. Pengalaman gagal pernah Budi rasakan dalam berinvestasi. Sekitar tahun 2000, pria yang gemar berwisata kuliner ini coba-coba untuk menanamkan investasi kebun kelengkeng di China. Ia bilang, berinvestasi kebun kelengkeng disana lebih menguntungkan ketimbang di dalam negeri. Dia mendapatkan sertifikat kepemilikan empat kaveling kebun tersebut. Namun sayang, hanya setahun berjalan, investasi Budi di sana harus merugi. Kesalahan kelola membuat ia harus menelan kerugian sekitar Rp 700 juta.
Itu bukan kali pertama Budi mencoba berinvestasi. Ia sudah mulai berinvestasi sejak 1989 ketika masih menjabat sebagai manajer di salah satu perusahaan asuransi. Kala itu ia langsung terjun ke bursa saham. Budi cukup percaya diri berinvestasi di saham lantaran ia merasa cukup memiliki pengetahuan dari membaca banyak buku manajemen, ekonomi dan investasi. Salah satu penulis buku favoritnya adalah Harry Max Marcowitz. Ekonom asal Amerika Serikat (AS) itu mengajarkan bahwa investor bisa mengukur risiko kuantitatif pergerakan saham. "Jadi investor bisa mengkalkulasi risiko berapa besar keuntungan dan kerugian yang bisa dihadapi dalam berinvestasi di saham," ujar pria yang memiliki dua anak ini. Salah satu saham yang ia beli pada tahun 1989 adalah saham perdana Lippo Bank ketika initial public offering (IPO). Setelah itu, Budi kembali mencoba membeli saham INCO di tahun 1990. Ia mengaku untung membeli saham Lippo Bank, namun merugi manakala berinvestasi di saham INCO. Pria lulusan Fakultas Ekonomi di Universitas Padjajaran (Unpad) ini juga memegang saham ASII yang dia beli tahun 2002 saat harganya masih di bawah Rp 2.000 per saham. Selain itu, ia juga mengoleksi saham BBCA dan KLBF. Pensiun lebih cepat Selain menjalankan profesi sebagai direksi di Siloam, Budi juga aktif mengajar investasi di sejumlah universitas dan sekolah tinggi di Jakarta seperti Universitas Pelita Harapan (UPH), Bina Nusantara dan Universitas Indonesia (UI). Dengan memiliki pengetahuan dan pengalaman di dunia investasi yang mumpuni, ia merasa mampu menekan tingkat risiko di investasi saham yang dia miliki. Tidak hanya di saham, Budi juga tertarik berinvestasi di properti. Bahkan, alokasi dana investasi terbesar dia berada di aset properti sekitar 50%. Sedangkan 50% sisanya, ia sebar di instrumen saham, obligasi dan reksadana.
Properti dan saham, ia pilih sebagai investasi jangka panjang. Sedangkan, investasi jangka menengah melalui instrumen reksadana. Saat ini, Budi memiliki tiga produk reksadana dan beberapa saham untuk tujuan investasi jangka pendek. Bagi Budi, berinvestasi merupakan cara untuk menaklukkan inflasi dan mendapatkan pasive income. Selain itu, dengan berinvestasi, ia berharap bisa pensiun lebih cepat dan supaya bisa membuat aset lebih produktif. Hasil keuntungan berinvestasi selain untuk diri sendiri juga digunakan untuk keperluan keluarga yang tidak terduga. Kepada investor pemula, ia menyarankan agar memiliki motivasi untuk tidak cepat puas dan berupaya selalu meraih lebih serta memiliki mimpi untuk mencapai sesuatu. Mimpi adalah awal mula kita memulai. Sementara, kegagalan adalah bukan alasan untuk tidak mau mencoba. "Kegagalan adalah titik pencerahan dari keberhasilan," ujar dia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Rizki Caturini