Saat aksi Indonesia kepada JPMorgan menuai kritik



SINGAPURA. Indonesia baru saja memutuskan kontrak bisnis dengan bank asal AS, JPMorgan ChaseĀ  Bank NA. Pemicunya, riset lembaga keuangan internasional yang merekomendasikan penurunan dua level terhadap asset allocation Indonesia dari overweight ke underweight dinilai tak sesuai dengan fakta yang akurat.

Sejumlah kritik berdatangan terhadap aksi Indonesia. Para analis market global menganggap, dunia saat ini menjadi tempat yang berbahaya bagi analis yang skeptis, bank-bank yang mempekerjakan mereka, serta investor yang mengandalkan riset yang mereka publikasikan.

Seperti yang dikutip dari Bloomberg, sejumlah negara -khususnya beberapa negara berkembang- melakukan upaya untuk mengekang hasil riset yang tidak menguntungkan bagi negara mereka. Bahkan dikatakan langkah ini sudah menjadi tren.


Pada Juli lalu, misalnya, regulator perbankan Turki mengeluarkan surat peringatan untuk menghindari laporan atau riset negatif. Sementara, pada 2014, Presiden Brazil Dilma Rousseff menghukum seorang analis yang menyebut bahwa terpilihnya kembali Rousseff sebagai presiden akan memukul perekonomian.

"Aksi seperti ini semakin agresif beberapa waktu belakangan," jelas Paul McNamara, emerging market fund manager GAM Ltd yang berbasis di London.

Menurut Medley Global Advisors, saat perusahaan pengelola dana (money manager) di seluruh dunia menarik dananya dari negara berkembang akibat kecemasan kenaikan suku bunga AS dan penguatan dollar, pemerintah suatu negara semakin sensitif terhadap opini analis yang kritis.

Medley menilai, risiko bagi pemerintah Indonesia adalah aksi mereka menjadi bumerang karena merusak kepercayaan investor terhadap riset market di tanah air.

"Hasil riset yang dipublikasikan menjadi pandangan yang terdilusi, namun aksi ini akan membuatnya lebih hambar. Investor ritel tidak akan memiliki gambaran apa yang sebenarnya menjadi pandangan analis karena laporan tertulis tidak menuliskan hal yang sebenarnya," papar McNamara.

Sekadar mengingatkan, JPMorgan memangkas pasar saham Indonesia sebanyak dua level menjadi underweight dari sebelumnya overweight dalam laporan yang dirilis 13 November 2016 lalu. Alasannya, penurunan tersebut merupakan respon terhadap kemenangan Donald Trump pada pemilu presiden AS.

Selain itu, JPMorgan juga memangkas rating Brazil. Kendati demikian, JPMorgan menekankan bahwa kedua negara bisa memberikan peluang beli yang lebih baik ke depannya.

Mengutip Kompas.com, Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan sebelumnya mengungkapkan, ada empat kerja sama JPMorgan yang diakhiri pemerintah.

Pertama, pemutusan kontrak sebagai dealer utama SUN (Surat Utang Negara). Kedua, sebagai peserta lelang Surat Utang Syariah Negara.

Lalu, ketiga, sebagai anggota panel join lead underwriter untuk menerbitan global bond. Keempat, sebagai penerima pajak bank persepsi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, dalam hal kerja sama dengan seluruh stakeholder diperlukan adanya prinsip profesionalisme, akuntabilitas, bertanggung jawab, termasuk kualitas dari keseluruhan hasil kerja. Utamanya, kerja sama yang dilakukan juga diharapkan bisa saling menguntungkan.

Namun menurut Sri Mulyani, sebuah lembaga dengan nama yang besar seperti JPMorgan, juga memiliki tanggung jawab yang besar dalam menciptakan psikologi positif. Apalagi, kondisi ekonomi sengat dipengaruhi oleh kondisi fundamental dan psikologis.

"Bukannya melakukan apa yang disebut misleading, dan ini sesuatu yang ingin kami lakukan," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di kantornya, Selasa (3/1).

Sri Mulyani juga mengatakan, pemutusan hubungan kemitraan tersebut menjadi sinyal bahwa pemerintah sungguh-sungguh bekerja menjaga Republik Indonesia secara profesional. Meski belum berarti sempurna lanjutnya, pemerintah akan terus melakukan perbaikan secara profesional, akuntabel, dan terbuka.

Tak hanya itu, ia mengaku pemerintah akan terus menciptakan hubungan saling menghormati dan saling percaya terhadap kedibilitas kerja yang dilakukan masing-masing.

"Dan kami harap seluruh partner kami juga memiliki sifat yang sama, profesional, terbuka dan bertanggung jawab terhadap hubungan yang positif ini," tambahnya.

Di luar kejadian tersebut, bisnis JPMorgan di Indonesia tetap beroperasi secara normal. "Dampak hal ini terhadap klien kami sangat minimal dan kami terus bekerjasama dengan Kementerian keuangan Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan ini," jelas JPMorgan.

Memang pada Rabu (4/1) kemarin, Kemenkeu memberikan klarifikasi bahwa pihaknya tidak akan menghentikan JPMorgan dalam menjalankan bisnisnya di Indonesia.

Perubahan sikap

Pendapat berbeda diungkapkan oleh analis lain. Bagi Andre Spicer, profesor Cass Business School di City University di London, adanya sikap dari sejumlah negara untuk menentang bank-bank besar dunia -seperti JPMorgan- merefleksikan berkurangnya reputasi industri di tengah krisis finansial global.

"Pada masa lalu, bank investasi besar merupakan penguasa dunia. Sekarang, sejumlah negara mulai menunjukkan otot-otot mereka," kata Spicer.

Kendati demikian, Indonesia masih tetap bergantung pada perusahaan sekuritas internasional. Sebab, para sekuritas tersebut menetapkan peringkat terhadap obligasi global yang menjadi acuan bagi investor luar negeri.

Berdasarkan data Asian Development Bank, per September 2016, 40% obligasi pemerintah Indonesia dipegang oleh investor luar negeri.

Christopger Wheeler, analis Atlantic Equities di London berpendapat, jika pemerintah Indonesia terus menjegal sejumlah bank karena kasus serupa, mereka bisa memperlemah kemampuan pemerintah dalam mendanai anggaran belanjanya.

"JPMorgan sudah lama beroperasi di Indonesia. Hal ini tentu akan memukul mereka, namun, dampaknya terhadap Indonesia akan jauh lebih negatif," papar Wheeler.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie