KUALALUMPUR. Persidangan Walfrida Soik, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang didakwa membunuh majikannya Yeap Seok Pen terus bergulir di di Mahkamah Tinggi Kota Bharu, Kelantan, Malaysia. Dalam persidangan Kamis (3/4) kemarin, tim pengacara menghadirkan Dr.Zahari Bin Noor, koordinator tim dokter yang memeriksa umur TKW asal Atambua, NTT tersebut. Juga saksi dari pihak keluarga yaitu paman Walfrida, Kornelis Bere dan Pastor Paroki Gereja Roh Kudus Halilulik,Febronius Fenat. Dalam kesaksiannya, Dr.Zahari Bin Noor menyimpulkan, usia Walfrida pada tahun 2010, atau ketika pembunuhan terjadi baru sekitar 16 tahun, tidak lebih dari 18 tahun. Kesimpulan didasarkan pada pemeriksaan kepadatan tulang Walfrida.
Berdasarkan UU anak-anak di Malaysia, Walfrid tidak dapat dikenakan hukuman mati karena hukuman cabut nyawa tersebut tidak berlaku bagi anak-anak alias yang belum berusia 18 tahun. Keterangan dokter ini diperkuat keterangan Pastor Febronius Fenat. Menurut pastor tersebut, Walfrida dibabtis di Gereja Roh Kudus Halilulik pada tanggal 8 Maret 1994 dan tercatat dalam buku induk permandian, Walfrida lahir pada tanggal 12 Oktober 1993. Dengan, dua fakta itu, menunjukkan bahwa tanggal lahir di paspor Walfrida telah dipalsukan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Paman Walfrida, Kornelis Bere, dalam kesaksiannya mengungkapkan sejarah masa kecil Walfrida. Sejak kecil, menurutnya, Walfrida memang sudah menunjukan berbagai prilaku ganjil seperti sering menjerit di waktu malam, menderita penyakit epilepsi, menyaksikan pembunuhan semasa konflik, tidak bisa fokus dan diam. Ini menyebabkan, Walfrida hanya sempat mengenyam pendidikan dasar selama lima bulan. Dalam beberapa sidang sebelumnya, tim pengacara sudah menghadirkan beberapa saksi ahli. Antara lain; Dr. Badiah, dokter forensik psikiatrik dari Rumah Sakit Permai Johor Bahru yang telah melakukan pemeriksaan kejiwaan terhadap Walfrida. Dalam kesaksiannya, Dr. Badiah mengatakan bahwa ketika kejadian Walfrida mengalami kondisi
acute and transient psychotic disorder. Kondisi ini merupakan situasi dimana pelaku mendadak terlepas dari realitas sementara, sehingga tak mampu mengontrol diri yang terjadi karena adanya tekanan di luar kemampuannya. Selain itu, menurut saksi ahli ini, berdasarkan tes IQ, tingkat intelektualitas Walfrida tergolong rendah dibandingkan anak seusianya sehingga menyebabkan dirinya mempunyai keterbatasan dalam mengatasi situasi yang terjadi di sekitarnya. Berdasarkan keterangan berbagai saksi, tim pengacara meminta majelis hakim menerima pembelaan terhadap Walfrida dan mengirimkannya ke rumah sakit untuk perawatan. Berdasarkan UU pidana Malaysia, penderita gangguan mental tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya. Tim pengacara juga meminta agar Walfrida dibebaskan dari tuntutan hukuman mati karena saat kejadian pembunuhan, usianya masih tergolong anak-anak alias belum 18 tahun.
Namun, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Puan Julia Ibrahim berargumentasi lain. Menurutnya, Walfrida tidak menderita kegilaan sementara saat kejadian, melainkan bentuk kemarahan yang tidak terkendali. Hal ini dibuktikan bahwa Walfrida setelah melakukan tindak pembunuhan masih mampu berpikir yang terlihat dari adanya tindakan Walfrida mengambil barang pribadi korban, berganti pakaian, dan melarikan diri. Selain itu JPU berpendapat, hasil pemeriksaan kejiwaan Walfrida di Hospital Permai Johor dilakukan terburu-buru, termasuk wawancara di kampung halaman Walfrida yang hanya berlangsung satu hari. Menurut informasi dari Kedutaan Besar Indonesia di Kualalumpur, hakim akan memberikan putusan pada persidangan lanjutan pada 7 April mendatang. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Asnil Amri