Saat China memerangi shadow banking



SHANGHAI. Aktivitas shadow banking China makin mengkhawatirkan karena menekan mata uang yuan. Sebab, nilai transaksi yang dilakukan perbankan tak resmi ini terbilang fantastis.

Financial Times yang dikutip Reuters, Kamis (20/10), melaporkan, seorang pejabat senior pada Badan Administrasi Valuta Asing China alias State Administration of Foreign Exchange (SAFE) menyebut, nilai transaksi ilegal yang dilakukan shadow banking mencapai lebih dari 1 triliun yuan atau setara US$ 148 miliar.

Hal tersebut yang kemudian mendorong SAFE meningkatkan penyelidikan atas aliran dana yang keluar dari aktivitas bank bawah tanah ini. SAFE juga menindak keras aktivitas ilegal tersebut. Pemerintah China tengah gencar memerangi praktik shadow banking di negaranya.


Hingga tahun ini, SAFE dengan bantuan polisi telah menemukan transaksi aliran modal ilegal mencapai US$ 8,43 miliar. Adapun 56 kasus transaksi ilegal tersebut dilakukan lewat praktik shadow banking.

Pada bulan ini, Kantor Berita Xinhua melaporkan bahwa polisi di Provinsi Selatan Guangdong China telah menangani kasus transaksi ilegal dengan nilai transfer sebesar US$ 35 miliar. SAFE juga telah memberikan sanksi kepada tiga bank yang dinilai melanggar kepatuhan. Penyebabnya adalah karena ketiga bank tersebut telah gagal melakukan cek atas penerima kredit mereka.

Zhang Shenghui, Direktur Senior SAFE membeberkan, tindakan keras tersebut dilakukan demi mendorong perkembangan pasar valuta asing (valas) China menjadi lebih sehat.

Raymond Yeung, Kepala Ekonom di Australia New Zealand Banking Group Ltd di Hongkong menambahkan, regulator China ingin memperketat jalur informal.

"Nampaknya kegiatan shadow banking akan memanas," kata Yeung seperti dilansir Bloomberg.

Dampak mata uang Negeri tembok besar memang sedang menghadapi tekanan berat pada mata uang mereka. Hal ini menyusul terdepreasinya yuan terhadap dollar hingga 7,8%, imbas dari aturan Bank Rakyat China atawa People's Bank of China (PBOC) yang melakukan devaluasi mata uang pada Agustus 2016.

Pada bulan Juli 2016 lalu, Kepala Regulator Valuta Asing Pan Gongsheng, beserta Gubernur dan Wakil Gubernur Bank Sentral China mengatakan bahwa China akan meningkatkan pemantauan arus modal.

Hal tersebut menyusul turunnya cadangan devisa China. Cadangan devisa China sejak Februari 2016 lalu sudah terpangkas sebanyak US$ 323 miliar menjadi US$ 3,2 triliun. Selama empat bulan terakhir, PBOC telah menjual dolar Amerika Serikat (AS) untuk menekan penurunan yuan.

Analis Goldman Sachs Group Inc yang dikutip oleh Bloomberg memperkirakan aliran modal yang keluar dari China bakal lebih besar dari yang terlihat saat ini. Sebab ada kenaikan arus dana ke luar dalam bentuk yuan ketimbang dalam dollar.

Data resmi menunjukkan ada aliran dana setara US$ 27,2 miliar dalam yuan yang keluar meninggalkan China pada bulan Agustus 2016. Seperti sempat diberitakan sebelumnya, tingkat kepercayaan masyarakat China terhadap shadow banking amat tinggi.

Pemerintah China dinilai tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat untuk pinjaman khususnya sektor properti. Belakangan, tawaran pinjaman lewat jalur online juga marak dan tengah digemari masyarakat China.

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie