Saat ekonom ramai-ramai merevisi target rupiah



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gejolak pada nilai tukar rupiah tampaknya belum akan berakhir. Kendati Bank Indonesia telah mengerek suku bunga acuan sebanyak 100 basis poin sepanjang tahun ini, performa rupiah di hadapan dollar Amerika Serikat (AS) masih loyo.

Tren pelemahan mata uang Garuda semakin terlihat lantaran sejak awal tahun rupiah telah terdepresiasi 5,99%. Alhasil, para pengamat memilih merevisi proyeksi target rupiah di akhir 2018. Maklumlah, sejumlah sentimen negatif masih membayangi.

Kepala Ekonom Bank Tabungan Negara (BTN) Winang Budoyo mengatakan, sentimen utama masih datang dari eksternal. Di antaranya, ekspektasi kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve dan perkembangan konflik perang dagang antara AS, China dan Uni Eropa.


"Awalnya, rupiah melemah karena investor masih mempersepsikan Indonesia sebagai salah satu dari fragile five," ujar Winang, Selasa (10/7). Fragile five adalah negara yang memiliki defisit transaksi berjalan cukup besar terhadap produk domestik bruto (PDB). Yang masuk daftar ini yakni India, Afrika Selatan, Brasil, Turki dan Indonesia.

Selain itu, yield obligasi pemerintah AS yang sempat melampaui 3% membuat pelaku pasar menyingkir dari pasar obligasi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Apalagi, pelaku pasar juga kian optimistis melihat pertumbuhan ekonomi AS yang diproyeksi akan terus membaik. Pasar menilai kenaikan suku bunga acuan AS masih akan berlanjut hingga 2020.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga meyakini The Fed masih akan menaikkan suku bunga 25–50 bps lagi hingga akhir tahun. Bersamaan dengan itu, ruang bagi kenaikan suku bunga Bank Indonesia (BI) juga diprediksi masih terbuka 25 bps.

"Selain merespons kenaikan suku bunga The Fed, BI perlu menaikkan suku bunga untuk mempertahankan capital inflow dan menutupi defisit transaksi berjalan yang berpotensi melebar hingga akhir tahun," ujar Josua, Selasa (10/7).

Tekanan tahun depan

Sementara untuk tahun depan, analis pasar uang Bank Mandiri Reny Eka Putri memprediksi, tekanan pada rupiah masih berat. Namun, sentimen utama bukan lagi dari luar negeri, melainkan dari dalam negeri. Terlebih tahun depan ada pemilu presiden.

Sementara Josua masih menilai rupiah akan dipengaruhi sentimen eksternal. Tak hanya datang dari kenaikan suku bunga acuan di AS saja, tetapi juga dari negara maju lainnya, seperti Uni Eropa maupun Inggris. "Tapi proyeksinya memang tidak akan sefluktuatif tahun ini, sebab pasar tampaknya sudah cukup priced-in dengan ekspektasi kenaikan suku bunga," jelas dia.

Selain itu, pasar AS tampaknya juga akan mulai mengalami risiko defisit kembar, yaitu defisit neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal. Hal ini berpotensi memperburuk pasar keuangan Negeri Paman Sam tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie