Saat hubungan Turki dan Belanda memanas



ANKARA. Hubungan antara Turki dan Belanda memanas, kemarin (12/3). Hal ini menyusul dilarangnya dua menteri Turki untuk memasuki Belanda.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengingatkan kepada Belanda bahwa mereka akan membayar aksi yang merenggangkan hubungan kedua negara setelah dua menterinya dilarang memasuki Negeri Kincir Angin tersebut.

Kedua menteri itu dilarang masuk untuk menemui pemilih Turki di Rotterdam pada Sabtu (11/3) lalu. Bahkan Salah satu menteri diantarkan kembali ke perbatasan Jerman.


Menurut Pemerintah Belanda, aksi unjuk rasa akan memicu ketegangan dalam negeri sebelum pemilu Belanda digelar.

Memang, hubungan Turki dengan sejumlah negara Uni Eropa menjadi renggang akibat unjuk rasa yang terjadi.

Sekadar informasi, aksi unjuk rasa ini terkait dengan rencana pemerintah Turki menggalang suara diaspora negeri itu menjelang referendum untuk memperluas wewenang presiden Turki yang akan digelar pada April mendatang.

Sebelumnya, Menteri Urusan Keluarga Turki Fatma Betul Sayan Kaya, tiba di Rotterdam melalui jalan darat pada Sabtu (11/3). Namun, dia ditolak masuk ke konsulat dan diantar kembali ke perbatasan Jerman oleh pihak kepolisian Belanda.

Menanggapi hal tersebut, Erdogan menuding negara-negara Barat sebagai 'Islamophobia' dan menuntut organisasi internasional menjatuhkan sanksi kepada Belanda.

"Saya telah mengatakan bahwa saya pikir Nazism sudah berakhir, namun saya salah. Nazism tumbuh subur di Barat," jelasnya.

Pemerintah Belanda juga melarang pesawat yang membawa Menlu Mevlut Cavusoglu mendarat di negeri itu. Dia kemarin berada di kota Metz, wilayah utara Perancis untuk hadir dalam aksi massa pada Minggu (12/3).

Erdogan juga mengucapkan terima kasih kepada Prancis yang mengizinkan Cavusoglu untuk masuk ke Prancis.

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie