Saat Rajamohanan blak-blakan atas kasus pajaknya



JAKARTA. Terdakwa kasus suap pajak, Ramapanicker Rajamohanan Nair blak-blakan soal permasalahan pajak yang menyeretnya pada operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa yang digelar hari ini, Senin (27/3), ia mengungkapkan peran beberapa nama penting seperti Dirjen Pajak Ken Dwijugeastiady, Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus Muhammad Haniv, ipar Presiden Jokowi Arif Budi Sulistyo, pengusaha Rudy P. Musdiono dan tersangka yang disuapnya, Handang Soekarno penyidik pegawai negeri sipil Dirjen Pajak.

Secara kronologis, ia mengakui permasalahan pertama timbul dari diskresi Johny Sirait, kepala KPP PMA 6. Ketika itu, ia menolak restitusi pajak perusahaan Mohan, PT EK Prima Ekspor Indonesia senilai Rp 3,5 miliar. Alih-alih mengabulkan, kantor pajak yang dipimpin Johny tersebut justru menerbitkan surat tagihan pajak dari pembelian mete sekaligus dendanya senilai Rp 78 miliar.


"Saya bingung, karena dipaksa bayar Rp 78 miliar. Perusahaan saya bisa hancur. Saya panik. Karena tidak ada dasar bayar Rp 78 miliar. Apalagi harus dibayar dalam 30 hari. Saya bingung, saya panik," kata Mohan.

Rencana untuk mengikuti program tax amnesty (TA) pun kandas lantaran ada tagihan tersebut. Kewajiban bayar pajak secara tanggung renteng pun ditolak PT EKP lantaran selama ini mereka membeli kacang mete dari petani dan pengepul yang jelas-jelas bukan pengusaha kena pajak (PKP).

Singgungan dengan TA ini membuat Mohan terpikir untuk menghubungi rekan bisnisnya, Rudy dan Arif. Dari mereka, Mohan mengaku banyak bertanya soal TA. Arif, menurut Mohan, memberi saran bahwa masalah pajak yang dihadapi PT EKP akan selesai jika perusahaannya mengikuti program tax amnesty.

Karena itulah pada tanggal 3 Oktober 2016 ia mengirimkan beberapa dokumen kepada Arif. Dokumen tersebut lantas diteruskan kepada Handang yang memang sebelumnya pernah membantu pengurusan TA pribadinya dan perusahaan yang ia kelola.

Berkat Rudy dan Arif, terdakwa Mohan pun mendapat nomor kontak Handang.

Berbagai masalah yang dihadapi PT EKP lantas disampaikan kepada Handang pada beberapa kali pertemuan. Handang menilai semua keputusan yang diambil Jhonny adalah salah.

"Waktu itu saya ketemu tanggal 6 Oktober. Kita bawa semua file komplit, tidak seperti waktu ketemu Pak Haniv. Kita ceritakan. Kita kasih bukti. Ada 4 masalah kita cerita semua. Pak Handang lalu menunjukkan di titik ini orang ini salah, titik ini orang ini salah. Anehnya, kantor pajak PMA 6 lakukan apa-apa terhadap PT EKP semua salah. Tapi dia juga bilang akan pelajari dulu," tuturnya.

Pembicaraan tersebut lantas berujung adanya kesepakatan pemberian duit. Kesepakatan dibicarakan di Hotel Nipon Khan pada 10 Oktober 2016. Menurut Mohan, Handang meminta 10% dari pokok STP ditambah Rp 1 miliar, sehingga ketemu hitungan Rp 6 miliar. Duit tersebut bukan hanya untuk Handang, tapi disebut untuk tim lantaran harus bekerja cepat, yaitu dalam 2 minggu harus selesai.

"Di situ dia sebut nama. Bukan hanya beliau, tapi ada tim. Dia sebut Pak Haniv juga. Beliau bilang untuk tim, lalu saya tanya siapa tim? Dia bilang Haniv juga. Bukan Pak Hanivnya, tapi orang-orang di tim," kata Mohan.

Beberapa hari kemudian, Muhammad Haniv menerbitkan surat pembatalan tagihan pajak yang nilainya sekitar Rp 78 miliar termasuk denda tadi. Atas pembatalan ini, Mohan pun memenuhi komitmennya memberikan uang Rp 6 miliar, namun dibayar bertahap. Apes, pembayaran pertama sebesar US$ 148.500 justru berujung operasi tangkap tangan KPK.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie