KONTAN.CO.ID - Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyetujui resolusi larangan tindakan kebencian terhadap agama dengan cara membakar kitab suci Al-Qur'an seperti yang marak dilakukan oleh sebagian masyarakat Swedia dan Denmark. Negara barat menganggal resolusi PBB ini menuai kontroversial, meskipun tujuan PBB adalah agar mendorong negara-negara anggotanya untuk menangani, mencegah, dan menuntut tindakan dan advokasi kebencian terhadap agama, setelah insiden pembakaran Al-Qur'an di Swedia. Resolusi PBB ini ditentang dengan keras oleh negara-negara barat seperti Amerik Serikat, Uni Eropa, dan negara-negara barat lainnya.
Mereka berpendapat bahwa resolusi tersebut bertentangan dengan hukum kebebasan berbicara dan mengungkapkan pendapat.
Baca Juga: Makin Marak! Denmark Kebingungan Cari Cara untuk Cegah Aksi Pembakaran Al-Quran Pada hari Rabu, resolusi itu disetujui dengan 28 negara mendukung, sebanyak 12 menentang, dan tujuh negara pilih abstain. Bulan lalu, seorang demonstran berdarah Irak, melakukan aksi yang menyebabkan kemarahan di seluruh dunia Muslim setelah merobek halaman-halaman dari Al-Qur'an. Tidak hanya itu ia juga mengusap sebagian dari halaman kitab suci umat muslim itu dengan sepatunya serta membakar bagian yang lain. Aksi provokatif menistakan kitab suci umat muslim ini dilakukan di luar sebuah masjid di Stockholm selama liburan Idul Adha. Meskipun aksi ini menyakiti hati umat Muslim, tapi undang-undang di Swedia tersebut membolehkan dan melindungi aksi itu.
Aksi ini jelas menuai protes negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim. Kedutaan Swedia di Baghdad sempat dikepung warga. Lalu Iran merespon aksi ini dengan menunda pengiriman duta besar baru ke Stockholm Sementara Organisasi Kerjasama Islam (OKI) mengutuk otoritas Swedia yang membiarkan dan mengizinkan aksi tersebut, lalu meminta Dewan Hak Asasi Manusia PBB yang berbasis di Jenewa untuk membahas masalah ini. Turki juga menyatakan kemarahannya, dengan menyebut "protes keji terhadap kitab suci" di Swedia sebagai salah satu alasan mereka menahan persetujuan aplikasi negara Skandinavia itu untuk bergabung dengan NATO. Pada hari Senin, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan, setuju untuk mengesampingkan hak vetonya dan mendukung resolusi PBB tersebut. Kementerian Luar Negeri Turki pada hari Rabu (25/7) menyambut baik resolusi Majelis Umum PBB yang menyesalkan semua tindakan kekerasan terhadap kitab suci sebagai pelanggaran hukum internasional. “Kami menyambut baik keputusan Majelis Umum PBB, yang berlangsung pada 25 Juli 2023, untuk menganggap segala bentuk kekerasan terhadap kitab suci sebagai pelanggaran hukum internasional, dan kami senang bahwa negara kami juga menjadi co-sponsor dari resolusi ini.”
Turki menilai resolusi ini sangat penting mengingat insiden serupa baru-baru ini makin maarak terjadi di Swedia, Denmark, dan Belanda, di mana perlindungan polisi diberikan untuk pembakaran salinan Alquran atau mushaf. "Kejahatan kebencian yang sangat menyinggung miliaran Muslim ini membutuhkan resolusi dan tindakan bersama dari komunitas internasional." ungkap kementerian luar negeri Turki dikuti kantor berita Anadolu Agency Türki akan terus memenuhi tanggung jawabnya dalam memerangi Islamofobia.
Pelanggaran Hukum Internasional
Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi Selasa yang menyesalkan semua tindakan perusakan terhadap kitab suci sebagai pelanggaran hukum internasional. Itu terjadi setelah beberapa pembakaran dan penodaan Alquran di negara-negara Eropa, termasuk insiden pembakaran Alquran baru-baru ini di depan sebuah masjid di Swedia, yang memicu kemarahan internasional. Para pemimpin dan politisi Muslim menekankan bahwa keputusan dan provokasi semacam itu tidak tercakup dalam undang-undang kebebasan berekspresi. Majelis Umum yang beranggotakan 193 orang mengadopsi resolusi yang disusun oleh Maroko melalui konsensus. Beberapa protes serupa sebelumnya pernah terjadi di Stockholm dan Malmö. Polisi Swedia telah menerima aplikasi untuk lebih banyak protes semacam itu, dari individu yang ingin membakar teks-teks keagamaan termasuk Al-Qur'an, Alkitab, dan Taurat. Menanggapi putusan Dewan PBB pekan lalu, Menteri Luar Negeri Pakistan, Bilawal Bhutto Zardari, mengatakan tindakan-tindakan tersebut merupakan "hasutan kebencian terhadap agama, diskriminasi, dan kekerasan," dan terjadi di bawah "sanksi pemerintah dan dengan rasa kekebalan." Menteri dari Iran, Arab Saudi, dan Indonesia mengulangi pandangan tersebut.
Baca Juga: Erdogan Berkunjung ke Arab Saudi, Putra Mahkota Beli Drone Turki Meskipun dengan tegas mengutuk pembakaran, negara-negara barat membela kebebasan berbicara. Utusan Jerman menyebutnya sebagai "provokasi yang mengerikan," tetapi menyatakan bahwa kebebasan berbicara juga berarti "mendengar pendapat yang mungkin terasa sangat tidak tertahankan." Utusan Prancis mengatakan bahwa hak asasi manusia berarti melindungi manusia, bukan agama dan simbol-simbol. Setelah pemungutan suara tentang resolusi tersebut, utusan Amerika Serikat untuk dewan, Michèle Taylor, mengatakan bahwa dengan lebih banyak waktu dan diskusi terbuka, bisa saja mencapai konsensus. "Sayangnya, keprihatinan kami tidak dianggap serius," ujarnya. "Saya sangat kecewa bahwa dewan PBB ini tidak dapat berbicara dengan suara bulat hari ini dalam mengutuk apa yang kita semua sepakati sebagai tindakan kebencian anti-Muslim yang tidak dapat diterima, sambil tetap menghormati kebebasan berekspresi." Utusan Pakistan untuk PBB di Jenewa, Khalil Hashmi, mengatakan resolusi tersebut tidak bertujuan untuk membatasi kebebasan berbicara, tetapi malah bertujuan untuk mencapai keseimbangan. "Sayangnya, beberapa negara telah memilih untuk mengabaikan tanggung jawab mereka untuk mencegah dan melawan wabah kebencian terhadap agama," kata Hashmi. "Pesan telah dikirim kepada miliaran orang beriman di seluruh dunia bahwa komitmen mereka untuk mencegah kebencian agama hanyalah basa-basi. Penolakan dari beberapa pihak di ruangan ini muncul dari ketidakmampuan mereka untuk mengutuk penghinaan publik terhadap Al-Qur'an. Mereka kurang memiliki keberanian politik, hukum, dan moral."
Resolusi tersebut mengutuk semua bentuk kebencian agama, termasuk "tindakan terencana dan publik terhadap penghinaan Al-Qur'an," dan mendesak agar pelaku bertanggung jawab. Beberapa komentator liberal di Swedia berpendapat bahwa protes semacam itu harus dianggap sebagai ujaran kebencian, yang dilarang jika ditujukan pada etnis atau ras tertentu. Namun, banyak orang lain berpendapat bahwa mengkritik agama - meskipun pemeluk agama merasa tersinggung - harus diizinkan, dan Swedia harus menolak tekanan untuk menghidupkan kembali hukum penistaan agama. Polisi Swedia sebelumnya pernah mencoba melarang protes membakar Al-Qur'an, tetapi keputusan itu digugat di pengadilan berdasarkan alasan kebebasan berbicara.
Protes bulan lalu diizinkan dengan alasan risiko keamanan "tidak cukup besar untuk membenarkan, berdasarkan hukum saat ini, keputusan untuk menolak permintaan tersebut". Pemerintah Swedia kemudian mengeluarkan pernyataan yang menyatakan bahwa mereka sangat menolak "tindakan Islamofobia" ini, yang "tidak mencerminkan sama sekali" pandangan mereka. Namun, pernyataan tersebut mendapat kritik tajam dari para pembela kebebasan berbicara yang mencatat bahwa individu yang melakukan protes tersebut tetap berada dalam batas hukum dan menggunakan kebebasan berekspresi konstitusionalnya. Para pejabat di Stockholm khawatir situasi ini dapat memanas seperti kontroversi atas publikasi karikatur Nabi Muhammad oleh surat kabar Denmark pada tahun 2005.
Editor: Syamsul Azhar