Saham Blue Chip Ini Bisa Ditimbang untuk Buy on Weakness, Antisipasi Sideways IHSG



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali menyapa tren sideways, usai terkapar pada perdagangan Rabu (24/1). Nyaris bergerak di zona merah sepanjang hari, IHSG ditutup melemah 28,40 poin atau turun 0,39% ke posisi 7.227,82 pada Rabu (24/1).

IHSG menampilkan pola yang cukup unik pada pekan ini. Dalam dua hari beruntun (22-23 Januari), IHSG mengalami lompatan signifikan menjelang akhir perdagangan, hingga mampu ditutup menguat secara harian. Lonjakan juga terjadi pada penutupan pasar hari ini, tapi kali ini gagal mengangkat IHSG.

Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Sukarno Alatas mengamati pola IHSG yang melonjak di akhir perdagangan mengindikasikan ada pembelian dengan jumlah signifikan menjelang penutupan. Terutama pada saham-saham blue chip atau saham dengan kapitalisasi pasar besar (big caps) yang lebih kuat menggerakkan indeks.


"Sedangkan alasan lainnya bisa jadi sinyal investor masih memiliki optimisme terhadap pasar saham Indonesia. Perlu diingat IHSG juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti kondisi ekonomi global," ungkap Sukarno kepada Kontan.co.id, Rabu (24/1).

Baca Juga: IHSG Diprediksi Tembus Level 7.900 pada 2024, Ini Sektor Saham yang Jadi Jagoan

Jika berkaca ke bursa global khususnya Amerika Serikat (AS), pada awal pekan ini indeks utama Wall Street justru sedang semarak, menjelang musim rilis laporan kinerja. Indeks S&P 500 bahkan mencapai rekor penutupan tertinggi.

Tren menanjak bursa global biasanya memberikan sentimen positif yang ikut mendorong IHSG. Hanya saja, Sukarno menekankan bahwa pergerakan bursa global dan IHSG tidak selalu berkorelasi positif setiap waktu. Sebab, ada kalanya investor lebih fokus pada sentimen domestik.

Sukarno memandang, investor cenderung mulai wait and see menanti Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 14 Februari 2024. "Untuk saat ini sentimen penguatan bursa wall street tidak direspons positif oleh IHSG. Pergerakan IHSG cenderung anomaly di tengah sikap wait and see pelaku pasar," ungkap Sukarno.

Head of Research Mega Capital Sekuritas (InvestasiKu) Cheril Tanuwijaya punya pandangan serupa. Biasanya penguatan bursa AS membawa angin segar bagi IHSG. Namun jika ada sentimen yang bersifat khusus dari dalam negeri, maka gerak IHSG bisa tidak sejalan dengan bursa global.

"Sekarang sedang sideways setelah naik pada windows dressing. IHSG sudah overbought, jadi wajar jika konsolidasi dulu atau bahkan koreksi," kata Cheril.

Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandhu Dewanto menambahkan, IHSG dalam beberapa hari terakhir sedang dalam area konsolidasi. Bagi Pandhu, situasi ini masih terbilang wajar setelah IHSG terus menanjak sejak bulan Oktober 2023 hingga mencetak rekor tertinggi baru (all time high) di level 7.403,57 di awal tahun ini.

Dengan posisi yang sempat menyentuh level all time high, maka sejatinya pergerakan IHSG tidak tertinggal jauh dari bursa saham global. "Sentimen global akan lebih terasa dampaknya ketika terjadi pergeseran arus investasi. Tidak hanya antar negara, namun juga antar instrumen investasi. Kita perlu melihat kemana arah arus dana tersebut," sebut Pandhu.

Pandhu lantas menyoroti mulai berakhirnya January Effect, sehingga saat ini cenderung terjadi aksi profit taking. IHSG pun menanti katalis positif berikutnya, yang berpotensi datang dari kebijakan suku bunga The Fed maupun penyelenggaraan Pemilu & Pilpres. "Para emiten juga cenderung menahan aksi korporasi sehingga bisa dikatakan saat ini berada dalam kondisi yang mengambang," terang Pandhu.

Hitungan Pandhu, saat ini IHSG sedang bergerak pada rentang support 7.152 dan resistance di 7.311. Jika IHSG anjlok ke bawah support, maka ada potensi terjun lebih dalam ke area 7.020 - 7.050. Sebaliknya, jika lanjut menguat, IHSG akan menguji level all time high 7.403.

Pandhu melihat peluang support - resistance IHSG tersebut bisa bertahan hingga kuartal I-2024. Alasannya, musim rilis laporan keuangan kemungkinan sudah diantisipasi oleh pasar. "Musim laporan 2023 kemungkinan sudah priced in, tidak akan banyak kejutan. Yang bisa diharapkan mungkin dividen di kisaran bulan April-Mei dan laporan kuaral I-2024," jelas Pandhu.

Momentum Buy on Weakness

Sementara itu, Pengamat Pasar Modal & Founder WH-Project William Hartanto menilai untuk saat ini January Effect belum pergi sepenuhnya. Adapun, kondisi IHSG sekarang lebih sebagai ujian pembentukan support baru pada level 7.200, usai IHSG mencapai all time high di area 7.403.

"Belum berakhir (January Effect), ini hanya bikin support 7.200. Selama belum tembus, maka masih ada ruang penguatan lanjutan, konsolidasi ini wajar karena IHSG sudah mendekati level all time high-nya," terang William.

Namun William sepakat saat ini ada indikasi pasar kurang bertenaga. Perdagangan saham mayoritas ada di saham-saham big caps. Oleh sebab itu, sering terjadi lompatan pada akhir sesi perdagangan. Meski William menegaskan hal ini bukan menjadi sinyal yang berbahaya.

Justru, William memandang saat ini bisa dipertimbangkan sebagai momentum koleksi saham big caps dengan strategi buy on weakness. William menjagokan  PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA).

Baca Juga: IHSG Masuk Tren Sideways, Cermati Strategi Investasi dan Rekomendasi Saham PIlihan

Selain empat bank big caps, William menyodorkan saham properti PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), PT Ciputra Development Tbk (CTRA) dan PT Summarecon Agung Tbk (SMRA). Pilihan lainnya adalah trading jangka pendek, mengambil momentum technical rebound seperti pada saham Grup Barito PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) dan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN). 

Sukarno menyoroti dalam jangka pendek tren naik IHSG sudah patah dan memasuki tren sideways. Arah IHSG berikutnya akan ditentukan oleh sejumlah faktor, termasuk Pemilu & Pilpres. Sukarno sepakat, momentum saat ini bisa dipakai untuk strategi buy on weakness pada saham blue chips perbankan yang sedang terkoreksi.

Di samping itu, bisa dipertimbangkan trading buy pada saham PT Ace Hardware Indonesia Tbk (ACES), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM), PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR). "Tapi kalau untuk masuk all in sebaiknya wait and see saja dulu," kata Sukarno.

Sementara itu, Cheril melihat strategi trading harian masih menarik, khususnya di sektor energi dan barang baku. Tapi untuk swing atau investasi, lebih menarik pada saham konsumen primer.

Pada saham barang konsumen, Cheril memilih ICBP dan PT Mayora Indah Tbk (MYOR). Di sektor barang baku, Cheril melirik saham yang terkait dengan komoditas emas. Saham pilihan Cheril PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA). 

Sedangkan Pandhu menyoroti aksi profit taking terhadap saham-saham yang sudah naik tinggi. Dus, investor bisa mulai beralih ke sektor yang lebih defensif, yang biasanya perform ketika indeks melemah. Pandhu memilih saham MYOR dan PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) sambil menunggu pasar lebih kondusif.

Saran Pandhu, koleksi MYOR pada rentang harga Rp 2.280 - Rp 2.350 dengan target harga di Rp 2.700. Sementara untuk INDF bisa masuk di area Rp 6.200 - 6.400 dengan target harga di level Rp 6.900.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat