Saham Blue Chip Ini Punya Prospek Bagus, Meskipun Kinerja Sedang Turun



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Investor saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang gemar mengoleksi saham blue chip perlu tahu kabar ini. Sejumlah emiten saham dari kelompok blue chip sedang mengalami penurunan kinerja. Namun, emiten saham blue chip ini memiliki prospek bagus pada periode mendatang.

Saham blue chip adalah jenis saham dari perusahaan dengan kondisi keuangan prima, serta beroperasi selama bertahun lamanya. Di Indonesia, saham-saham yang masuk dalam kategori blue chip berada pada daftar indeks LQ45.

Mengutip MNC Sekuritas, saham blue chip memiliki beberapa karakteristik. Salah satunya adalah memiliki kapitalisasi besar. Nilai kapitalisasi suatu perusahaan mampu mencapai nilai triliunan rupiah. Besarnya kapitalisasi pasar ini mampu membuat investor sulit dalam memanipulasi harga.


Selain itu, saham blue chip juga memiliki likuiditas yang bagus. Biasanya likuiditas ini dipengaruhi oleh jumlah saham yang dimiliki publik atau beredar di bursa. Makin banyak kepemilikan saham publik, maka makin likuid pula saham tersebut.

Saham yang masuk ke dalam kategori blue chip biasanya juga telah sudah cukup lama lama terdaftar di Bursa Efek Indonesia, dengan jangka waktu minimal lima tahun.

Oleh karena itu, saham blue chip cenderung bergerak steady dan tidak terlalu liar. Anda tidak perlu takut dalam berinvestasi di saham blue chip.

Baca Juga: Jangan Telat Beli, Harga Saham Blue Chip Di BEI Oktober 2022 Ini Masih Murah

Pasalnya, perusahaan yang sahamnya tergolong blue chip bukan lagi perusahaan yang bertumbuh, tetapi sudah termasuk dalam perusahaan yang mapan dan kuat.

Saham jenis blue chip sangat cocok untuk Anda yang ingin berinvestasi jangka panjang. Pada saat pergerakan market tidak menentu, saham Blue Chip biasanya cenderung stabil.

Bukan berarti saham blue chip tidak akan mengalami penurunan. Namun saham-saham blue chip biasanya paling cepat pulih dibandingkan saham small atau mid-caps.

Emiten saham blue chip yang terdaftar dalam LQ45 mencatatkan penurunan kinerja pada semester pertama tahun 2022 ini antara lain PT Semen Indonesia Tbk (SMGR).

SMGR membukukan pendapatan sebesar Rp 15,88 triliun sepanjang semester I-2022, nilai tersebut turun 2,03% dari periode yang sama tahun lalu dengan jumlah Rp 16,21 triliun. 

Untungnya, laba periode berjalan yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk berhasil meningkat jadi Rp 828,76 miliar, dari semester I-2021 yang sebesar Rp 794,12 miliar.

Selain SMGR, ada beberapa emiten saham blue chip yang mencatatkan pertumbuhan pendapatan tapi laba bersihnya menurun, di antaranya PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF). Kemudian PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA), PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO), dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) juga termasuk emiten saham blue chip yang kinerjanya turun.

Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandhu Dewanto mencermati, emiten SMGR dan INTP tampak melambat pertumbuhan kinerja pendapatannya. Pada semester pertama tahun ini, pendapatan INTP mencapai Rp 6,91 triliun atau naik tipis 3,75% dari pendapatan di semester pertama 2021 sebesar Rp 6,66 triliun.

Namun, INTP mencatatkan laba bersih Rp 291,54 miliar di semester pertama 2022 atau turun 50,3% secara tahunan. "Pemerintah tampak tidak terlalu menggenjot proyek baru karena lebih fokus untuk mengendalikan inflasi dan melindungi sebagian masyarakat yang terdampak sehingga anggaran infrastruktur belum dapat dioptimalkan," kata Pandhu, Rabu (5/10).

Selain itu, dari sektor pembangunan perumahan juga ada hambatan dari kenaikan suku bunga, pengurangan insentif, dan kenaikan harga bahan baku. Pandhu bilang, hal ini terlihat dari target marketing sales para emiten properti yang stagnan dan tidak seoptimis tahun lalu.

Tak hanya itu, kenaikan harga batubara dan BBM juga membuat profit margin INTP tergerus, sehingga laba menyusut. Hal ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah dalam menerapkan harga batubara khusus untuk beberapa industri belum secara merata tersalurkan.

"Untuk kuartal III dan IV kami perkirakan belum banyak perubahan, jadi kinerja masih akan stagnan hingga akhir tahun," tambah Pandhu.

Selanjutnya untuk ICBP dan INDF, Pandhu menjelaskan, pukulan terbesar datang dari penguatan dolar Amerika Serikat (AS) yang menyebabkan beban keuangan meningkat dan menggerus laba kedua emiten tersebut. Meski demikian, jika dilihat dari pendapatan masih cukup baik karena mampu membukukan pertumbuhan positif.

Pandhu menambahkn, harga komoditas yang mulai menurun dapat menjadi pendorong kinerja membaik karena gandum dan CPO merupakan bahan baku utama kedua emiten tersebut, yang mana sudah turun mencapai sekitar 30% jika dibanding posisi kuartal kedua lalu.

Sayangnya, posisi kurs dolar yang masih lebih tinggi akan sedikit banyak menggerus laba bersih. "Kami rasa masih cukup berat pada kuartal ketiga untuk membalikkan pertumbuhan laba bersih menjadi positif," ujar Pandhu.

Selanjutnya, untuk GOTO yang mencetak kerugian mencapai Rp 13 triliun sepanjang semester pertama ini dinilai masih sulit berharap untuk dapat mencapai laba. Dari emiten sendiri memperkirakan baru pada tahun 2025 menargetkan bisa mulai mencetak laba.

Sekarang ini GOTO masih fokus untuk memperluas lini bisnis sambil pelan-pelan meningkatkan take rate, karena jika terlalu agresif dapat menghambat laju pertumbuhan transaksi para pelanggan.

Sedangkan untuk kinerja HMSP terimbas kenaikan cukai rokok. Menurut Pandhu, kenaikan cukai rokok membuat harga jual rokok semakin tidak terjangkau, sehingga para konsumen beralih ke rokok yang lebih murah. Ia melihat HMSP tampak kesulitan dalam menaikkan harga jual karena peralihan para konsumen dapat semakin besar.

Adapun kinerja laba bersih ERAA juga tergerus pada semester pertama ini. Strategi emiten untuk membuka banyak gerai baru diharapkan dapat memperluas pangsa pasar perseroan. Nah, penambahan gerai ini otomatis akan meningkatkan beban. Oleh karena itu, Pandhu memandang ERAA perlu upaya yang lebih untuk dapat mengejar pertumbuhan pendapatannya.

Jika melihat sejumlah emiten LQ45 yang mengalami penurunan kinerja, pergerakan harga sahamnya rata-rata berada dalam tren turun kecuali SMGR. Pandhu mencermati ada potensi yang cukup menarik pada saham ERAA, INDF, dan ICBP yang mulai mendekati support dan ada tanda-tanda perlawanan. Secara valuasinya juga dinilai cukup menarik meskipun secara kinerja diperkirakan masih akan tertekan.

Ia memberikan rekomendasi buy on weakness saham ERAA, INDF, dan ICBP dengan target harga masing-masing di Rp 480, Rp 6.650, dan Rp 9.500 per saham.

Itulah rekomendasi saham blue chip yang sedang mengalami penurunan kinerja namun punya prospek cerah pada periode mendatang. Ingat disclaimer on, segala risiko investasi atas rekomendasi saham di atas menjadi tanggung jawab Anda sendiri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto