Saham emiten minyak masih memanas



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di akhir pekan lalu, harga minyak sempat menyentuh level tertingginya sejak pertengahan 2015. Kinerja emiten saham yang bergerak di sektor ini diramal akan ikut terdongkrak.

Mengutip Bloomberg, harga minyak WTI kontrak pengiriman Januari 2018 pada Jumat (24/11) lalu mencapai US$ 58,95 per barel. Harga ini merupakan harga penutupan tertinggi sejak September 2015. Rabu (29/11), pukul 22.02 WIB, harga minyak bertengger di US$ 57,58 per barrel.

Kenaikan harga minyak turut memanaskan saham-saham sektor ini. Saham PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) sudah naik 186,36% year to date (ytd) dan kini bertengger di Rp 945 per saham. Sementara itu, saham PT Benakat Integra Tbk (BIPI) juga naik 18,31% ytd ke level Rp 84 per saham.


"Memang langsung terasa pengaruhnya. Emiten minyak dan gas (migas) seperti MEDC dan BIPI langsung terlihat pola uptrend," ujar Analis Senior Binaartha Parama Sekuritas, Reza Priyambada, Rabu, (29/11). Kenaikan harga saham ini juga didukung kinerja fundamental yang membaik pada III-2017 lalu.

Analis Ciptadana Sekuritas Kurniawan Sudjatmiko menilai, kenaikan harga minyak memang punya korelasi bagus terhadap fundamental emiten minyak. Saat harga minyak turun, emiten sektor ini telah banyak melakukan efisiensi. Dus, kala harga minyak naik dan biaya tetap ditekan, laba bersih perusahaan turut terkena imbas positif.

Pada 2018 mendatang, Kurniawan memprediksi harga minyak rata-rata akan berada di level US$ 58 per barel. Prediksi harga tersebut masih relatif aman bagi bisnis emiten sektor minyak. "Hal ini dengan mempertimbangkan pengurangan produksi dari negara-negara OPEC, maupun kemungkinan adanya kenaikan produksi dari negara non-OPEC, jelas Kurniawan.

Saham pilihan

Reza juga berharap harga minyak masih naik di tahun depan. Selain karena adanya pembatasan produksi dari OPEC, optimisme juga muncul dari perbaikan sektor manufaktur. Dengan demikian, permintaan bahan bakar minyak di 2018 juga bisa naik.

"Tahun depan, ekonomi diharapkan makin membaik dengan memperhatikan indeks manufaktur China, Amerika, dan Eropa," ujar Reza. Selain itu, membaiknya konsumsi masyarakat juga akan meningkatkan kebutuhan bahan bakar.

Namun, Reza tak menampik adanya risiko yang masih menghadang sektor migas. Salah satunya adalah kondisi geopolitik seperti konflik antara Korea Utara dan Amerika Serikat yang masih mungkin berlanjut.

Selain itu, beberapa sentimen global juga masih bisa menekan harga minyak. "Di Arab ada yang ditangkap terkait korupsi. Di Nigeria ada pemogokan karyawan. Hal ini bisa mempengaruhi volume produksi," imbuh Reza.

Dari sederet saham emiten di sektor minyak, Reza dan Kurniawan sepakat menyebut MEDC sebagai saham pilihan. Menurut Kurniawan, pendapatan MEDC berpotensi tumbuh. Apalagi, MEDC terus mengembangkan proyek blok A di Aceh yang kini progresnya sudah mencapai 60%. Bisnis listrik juga membuat MEDC kian prospektif.

Meski saham MEDC sudah naik banyak tahun ini, Kurniawan masih melihat adanya potensi kenaikan harga. Dengan asumsi laba 2018 naik, ia mencatat price to earning ratio (PER) MEDC mencapai 3,4 kali. Reza juga menyarankan investor beli saham MEDC dengan target harga Rp 1.050 per saham.

Selain emiten produsen minyak, menurut Reza, investor juga bisa memperhatikan saham-saham emiten jasa konstruksi minyak. Salah satu yang menarik adalah saham PT Elnusa Tbk (ELSA). Tapi untuk saat ini, Reza merekomendasikan hold saham ELSA dengan target harga Rp 525 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia