KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saham emiten dengan kapitalisasi pasar (
market cap) jumbo bergerak dinamis hingga periode tujuh bulan tahun ini. Perubahan yang kentara tertera pada sektor berbasis komoditas dan teknologi. Jika merujuk data market cap per akhir tahun 2021 hingga akhir Juli ini, posisi PT Bank Central Asia Tbk (
BBCA) dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (
BBRI) masih kokoh di peringkat pertama dan kedua. Market cap BBCA bergerak naik dari Rp 890,90 triliun per Desember 2021 menjadi Rp 902,98 triliun per 28 Juli 2022. Begitu juga dengan BBRI yang menanjak dari Rp 616,67 triliun menjadi Rp 654,73 triliun pada periode yang sama.
Pergeseran sengit terjadi di saham emiten berbasis komoditas dan teknologi. Melantainya PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (
GOTO) pada 11 April lalu turut mengubah peta klasemen.
Baca Juga: Saham-Saham Layak Koleksi di Tengah Ancaman Suku Bunga Dengan kapitalisasi Rp 459,53 triliun, GOTO bertengger di posisi ketiga emiten dengan
market cap terbesar per Juni 2022. GOTO menyalip PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (
TLKM), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (
BMRI), dan perusahaan konglomerasi, PT Astra International Tbk (
ASII). Meski, per 28 Juli GOTO merosot ke peringkat lima, disusul kembali oleh TLKM dan BMRI. Berikutnya, terjadi lonjakan pada kapitalisasi pasar PT Bayan Resources Tbk (
BYAN). Per akhir 2021,
market cap BYAN berkisar Rp 90 triliun, menempati posisi ke-15. Kapitalisasi pasar emiten batubara tersebut melesat ke angka Rp 223,08 triliun dan merangsek ke rangking ketujuh. Lonjakan lainnya ditunjukkan oleh PT Adaro Energy Indonesia Tbk (
ADRO). Emiten Garibaldi "Boy" Thohir ini punya kapitalisasi pasar Rp 71,96 triliun per akhir tahun lalu. Hingga akhir Juli, kapitalisasi pasar ADRO melesat ke angka Rp 104,91 triliun.
Baca Juga: Dibayangi Rilis Data Inflasi, Intip Proyeksi Pergerakan IHSG Senin (1/8) Nasib berbeda dialami oleh saham berbasis teknologi yang tahun lalu laris diburu, seperti pada PT Bank Jago Tbk (
ARTO) dan PT DCI Indonesia Tbk (
DCII). Per Desember 2021, ARTO ada di peringkat keenam dengan Rp 219,48 triliun. Sedangkan DCII ada di posisi ke-12 dengan market cap Rp 104,82 triliun. Sampai dengan akhir Juli, rangking ARTO tergeser ke posisi 11 dengan nilai Rp 137,17 triliun. Sementara itu, DCII tergusur ke peringkat 19 dengan market cap Rp 90,52 triliun. Dinamika pasar juga membuat emiten berkapitalisasi pasar di atas Rp 100 triliun bertambah. Dari berjumlah 13 emiten per Desember 2021, kini menjadi 16 emiten per akhir Juli.
Baca Juga: Semester I 2022, Resource Alam Indonesia (KKGI) Bukukan Kenaikan Laba 427.56% Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandhu Dewanto mengingatkan, perubahan
market cap sangat bergantung dari optimisme para investor sehingga bisa bergerak dinamis. Sektor teknologi yang tahun lalu menjadi primadona telah bergeser ke sektor komoditas seiring lonjakan harga dan kinerja tahun lalu yang cemerlang. "Kinerja yang kuat itu membuat para investor mengalihkan sebagian investasi, sehingga sektor komoditas naik, sedangkan teknologi mengalami koreksi," kata Pandhu saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (31/7). Dia pun menyoroti saham yang kapitalisasi pasarnya merosot, seperti DCII dan ARTO. Meskipun secara pertumbuhan tampak signifikan, tapi saham DCII secara valuasi sudah cukup mahal dengan
price to book value (PBV) mencapai 11x. Begitu juga dengan ARTO yang mencapai 17,5x. Hal ini dinilai berisiko jika tidak dapat menunjukkan kinerja yang kuat. Sebab, ada ekspektasi besar dari para investornya.
Baca Juga: IHSG Berpotensi Lanjut Melemah pada Senin (1/8), Saham-Saham Ini Bisa Dicermati Di sisi lain, market cap ARTO dan PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (
EMTK) yang sempat jatuh, dalam beberapa hari terakhir mampu naik lagi. Market cap EMTK berhasil kembali ke atas Rp 100 triliun, setelah sempat melorot per Juni lalu. "Menunjukkan bahwa para investornya masih cukup optimistis pada prospek di masa depan," imbuh Pandhu. Analis Fundamental B-Trade Raditya Krisna Pradana punya pandangan serupa. Pergerakan kapitalisasi pasar sejauh ini dipengaruhi oleh dua faktor utama.
Pertama, super cycle commodity yang membuat saham sektor komoditas jadi primadona, sehingga permintaan sahamnya meningkat.
Kedua, ada sejumlah sentimen yang menekan saham berbasis teknologi seperti ketidakpastian makro ekonomi global, kenaikan inflasi dan tren lonjakan suku bunga. Alhasil, investor cenderung mengurangi porsi pembelian saham emiten teknologi. "Ini menyebabkan penurunan market cap. Tapi ketika makro ekonomi global sudah stabil kembali, kami proyeksikan menjadi momentum
turn around bagi emiten teknologi," kata Raditya.
Baca Juga: Cek Saham-saham yang Banyak Dijual Asing Selama Sepekan Ini Head of Research Jasa Utama Capital Sekuritas Cheryl Tanuwijaya menambahkan, hadirnya GOTO dengan
market cap jumbo membuat IHSG semakin
volatile. Sebab, pergerakan yang terjadi di GOTO terutama di masa awal IPO begitu terasa imbasnya ke IHSG. "Sekarang pengaruh perbankan tidak sebesar dulu karena turut dipengaruhi juga dengan GOTO. Sehingga IHSG makin merefleksikan pergerakan saham
big caps, tidak hanya perbankan," ujar Cheryl. Adapun dalam beberapa waktu terakhir, bursa saham secara global cenderung volatile diterpa berbagai sentimen ketidakpastian ekonomi. Akibatnya, harga saham juga bergerak semakin fluktuatif. Cheryl meyakini, kondisi itu hanya akan terjadi sementara saja. "Secara kinerja pun mayoritas yang sudah rilis kinerja keuangan menunjukkan perbaikan, sehingga secara fundamental masih baik," imbuhnya.
Baca Juga: CIO STAR AM Susanto Chandra: Gigih Belajar Meski Pernah Merugi Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus juga menyoroti bahwa pergerakan bursa yang dinamis menandakan kondisi pasar yang sehat. "Tinggal bagaimana kita sebagai pelaku pasar mampu menunggangi volatilitas tersebut mendapatkan keuntungan," sebut Nico. Daya tarik emiten, sentimen pasar, dan data ekonomi akan menjadi faktor penggerak bursa. Hal terpenting, investor mesti mencermati fundamental dan potensi valuasi masing-masing emiten ke depannya. Nico melihat saham seperti ARTO dan EMTK masih punya prospek yang terbilang cerah di tengah volatilitas pasar. Di samping dukungan ekosistem bisnis, kedua emiten tersebut juga memposisikan diri dengan cukup baik.
Baca Juga: Gejolak IHSG Masih Terjaga, Berikut Faktor Penyokong Optimisme Pasar Misalnya, ARTO memposisikan sebagai leader di perbankan digital dan EMTK sebagai pelopor infrastruktur digital ekonomi. "Selama transformasi digital terjadi di Indonesia, di situ perannya masih dibutuhkan," ungkap Nico. Selain itu, Nico juga menilai saham BBRI, PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (
TPIA), dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (
ICBP) masih menarik untuk dilirik investor. Sementara itu, Cheryl menjagokan saham perbankan berkapitalisasi jumbo seperti BBCA, BBRI, dan BMRI. Di segmen bank digital, ada saham ARTO. Sedangkan di jajaran bank syariah menarik dilirik PT Bank Syariah Indonesia Tbk (
BRIS). "Hasil
earning yang baik menjadi penopang kenaikan harga sahamnya. Kami rekomendasikan sektor perbankan big caps dengan target 10%," ungkap Cheryl.
Baca Juga: Wall Street: Nasdaq dan S&P 500 Dibuka Naik, Perkiraan Positif dari Apple dan Amazon Raditya juga memberikan rekomendasi
buy terhadap BRIS dengan target penguatan ke harga Rp 1.970 hingga Rp 2.275. Selanjutnya, Raditya mengingatkan bahwa untuk investasi jangka panjang, penurunan harga yang terjadi pada saham
big caps berfundamental apik bisa dilakukan koleksi dengan strategi
buy on weakness. Pintu masuknya bisa mencermati area target koreksi ARTO pada harga Rp 9.425 hingga Rp 8.150, PT Unilever Indonesia Tbk (
UNVR) di area di Rp 4.200, serta Rp 1.670 sebagai target koreksi PT Aneka Tambang Tbk (
ANTM). Sedangkan bagi Pandhu, saham big caps di sektor perbankan dan komoditas masih menarik untuk dikoleksi. Pilihan utama Pandhu jatuh kepada saham BBRI, BMRI, BBNI, ADRO, ASII dan UNTR. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati