Saham komoditas belum kembali bernas



Banyak analis masih meragukan prospek pemulihan harga komoditas pada sisa tahun 2012 dan 2013. Tahun depan, harga rata-rata batubara sendiri diramal akan lebih buruk ketimbang tahun ini. Masih adakah asa yang tersisa dari mereka?Nasib saham-saham komoditas dan penunjangnya tampak belum menemui titik terang. Lesunya aktivitas ekonomi dunia sebagai dampak dari krisis ekonomi, menyebabkan permintaan komoditas ikut susut.Ambil contoh emiten pertambangan batubara. Irwan Budiarto, analis emiten tambang batubara dari Bahana Securities, menyebut, emiten sektor ini sedang merevisi target produksi dan penjualan.PT Adaro Energy Tbk (ADRO), misalnya, merevisi target produksi 2012 dari 51 juta - 54 juta ton menjadi 48 juta - 51 juta ton. Demikian juga dengan PT Brau Coal Energy Tbk (BRAU) yang mengurangi target produksinya dari 23 juta ton menjadi 22 juta ton. Selain itu, PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), meski tak mengubah target produksi 27 ton, menurunkan target volume penjualannya dari 27 juta ton menjadi 26,5 juta ton.Irwan mengatakan, asumsi harga rata-rata batubara tahun 2012 di bursa Newcastle sebesar US$ 95 - US$ 97 per ton. Padahal, tahun 2011, angkanya rata-rata mencapai US$ 120 per ton. Celakanya, tahun depan, kemungkinan rata-rata harganya akan turun lagi menjadi US$ 85 per ton. “Kondisi ini murni disebabkan karena penurunan permintaan,” jelas dia. Berdasarkan data Bloomberg, harga batubara di bursa Ice Newcastle per 30 Oktober 2012 berada di level US$ 85,7 per ton. Harga ini merosot 24,46% dibanding posisi akhir 2011. Ketika itu, harganya masih US$ 113,45 per ton.Nasib emiten perkebunan tak jauh berbeda dengan tambang. Berdasarkan riset analis Trimegah Securities William Simadiputra yang dirilis pertengahan Oktober lalu, mereka telah mencukur target harga rata-rata minyak kelapa sawit (CPO) tahun 2012. Tahun ini, target rata-rata harga CPO sebesar US$ 1.000 diubah menjadi US$ 900 per ton.Kondisi tersebut merupakan dampak dari penurunan permintaan di saat produksi meningkat. Pada semester pertama 2012, produksi CPO Indonesia naik 6% menjadi 11 juta ton dibandingkan periode yang sama 2011. Pada semester kedua, produksi diperkirakan meningkat 8,4% menjadi 14,7 juta ton dibandingkan semester II-2011.Sementara, Malaysia kini memiliki stok CPO 2,4 juta ton. Ini cadangan tertinggi sejak November 2008. Di saat yang bersamaan, permintaan dari Eropa dan China, yang masing-masing menguasai 11% dan 13% konsumsi CPO dunia, melemah.Data Bloomberg menyebut, harga CPO di bursa Malaysia per 31 Oktober 2012 berada di level US$ 829,27 per ton. Itu berarti, ada penurunan 15,86% dari posisi akhir 2011, yang seharga US$ 985,63 per ton.Nasib industri pendukung sektor pertambangan dan perkebunan pun tampaknya tak akan jauh berbeda. Semisal, emiten alat berat yang menjual produk bagi sektor tambang dan kebun. Berikut ini adalah sejumlah saham dari beberapa sektor tersebut yang masih bisa dipantau investor.AALIMasalah terberat yang dihadapi industri kelapa sawit timbul karena persoalan sentimen negatif terhadap kondisi perekonomian global. Krisis yang melanda Uni Eropa serta perlambatan ekonomi yang menimpa negara-negara industri maju lainnya membuat harga CPO mengalami tekanan akibat spekulasi.Sebenarnya, kalau dilihat dari sisi produksi dan permintaan, tak ada masalah apa pun. Produksi dan permintaan CPO dunia selalu meningkat tiap tahun. Ambil contoh di periode 2011-2012, produksi CPO dunia diperkirakan mencapai 50,6 juta ton dengan total permintaan 48,1 juta ton. Sementara, di periode 2012-2013, volume produksi meningkat menjadi 53,3 juta ton dan permintaan tumbuh menjadi 51,6 juta ton.Bagi produsen di tanah air, tekanan harga ini jelas berdampak kurang baik bagi kinerjanya. Pada kuartal III-2012 saja, laba bersih Astra Agro mencapai Rp 713 miliar atau tumbuh 21% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, jika menilik kinerja sembilan bulanan, laba bersihnya turun 10% menjadi Rp 1,67 triliun.Kondisi tersebut terjadi akibat harga jual rata-rata CPO yang melandai. Analis Batavia Prosperindo Sekuritas Yasmin Soulisa bilang, sebelumnya ia memperkirakan harga rata-rata CPO tahun ini ada di level US$ 1.130 per ton. Nyatanya, hingga sembilan bulan pertama 2012, harga rata-rata komoditas ini cuma US$ 1.060 per ton. “AALI tertekan lebih karena faktor harga CPO. Kalau dari sisi penjualannya, sebetulnya hampir 100% ke domestik,” terang dia.JP Morgan dalam riset terbarunya menyebut, per September 2012, produksi CPO anak usaha Group Astra ini sebetulnya naik 11,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Namun perlu dicatat, komposisi produksi pihak ketiga, yakni petani plasma juga naik dari 35,4% menjadi 38,5% dari total produksi tandan buah segar. Alhasil, margin laba kotor AALI menipis dari 38,2% per September 2011 menjadi 35,3% per September 2012.Di tiga bulan terakhir 2012, Yasmin pesimistis akan ada katalis yang cukup kuat bagi harga CPO. Secara rata-rata, harga jual CPO di 2012 kurang lebih akan berada di US$ 1.060 per ton. Khusus untuk Astra Agro, Yasmin memprediksi, harga jual rata-rata CPO-nya di Rp 7.306 per kg.Kondisi di sepanjang tahun ini diyakini bakal terulang di 2013. Harga CPO tetap berfluktuasi dengan kecenderungan tertekan. Kondisi anomali, permintaan tinggi sementara harga rendah, masih akan berlanjut. Singkatnya, harga CPO kian sulit diprediksi, namun diperkirakan akan berada di bawah level US$ 1.100 per ton.Toh, Yasmin masih merekomendasikan beli saham AALI dengan target harga yang lebih rendah, dari sebelumnya Rp 25.200 menjadi Rp 23.600 per saham.Target ini dengan asumsi pendapatan dan laba bersih AALI mencapai Rp 11,487 triliun dan Rp 2,222 triliun.Sementara, JP Morgan melabeli underweight saham AALI dengan target harga cuma di Rp 15.000 per saham. Harga ini mencerminkan 13 kali laba 2013.Hingga penutupan bursa Kamis (1/11), saham AALI bertengger di harga Rp 20.800 per saham. Padahal, akhir 2011, harganya masih mencapai Rp 21.700 per saham.ADROHingga September 2012, laba bersih PT Adaro Energy Tbk (ADRO) turun 7,28% menjadiUS$ 348 juta dibandingkan periode yang sama 2011. Ini implikasi dari penurunan pendapatan mereka menjadi US$ 2,75 miliar dari periode yang sama tahun 2011, sebesar US$ 2,92 miliar.Menurut analis Kim Eng Securities Lucky Ariesandi dalam risetnya pada awal November, revisi target produksi Adaro itu terkait dengan turunnya minat dari calon pembeli untuk melaksanakan kontrak opsi pembelian batubara dari emiten ini. Di sisi lain, penurunan produksi ini akan menurunkan biaya perusahaan.Menyikapi situasi itu, Adaro telah lebih dulu memangkas belanja modal (capex), dari US$ 650 juta - US$ 700 juta menjadi US$ 400 juta - US$ 500 juta. Penghematan terjadi di pos pengadaan alat berat. Tapi, Lucky menilai, tindakan penundaan pengadaan alat berat ini akan sedikit mengganggu kinerja produksi mereka di masa depan.Di sisi lain, analis Indo Premier Securities Handoko Wijoyo dalam risetnya menyebut, pemangkasan produksi akan berdampak positif bagi stabiliasi harga batubara. Secara bertahap, ia yakin, harga batubara akan kembali naik, tapi tidak dalam waktu yang singkat.Sekadar catatan, permintaan batubara Adaro di dalam negeri masih cukup besar, yakni mencapai 24% dari total penjualannya. Sementara, penjualan terbesar berikutnya adalah permintaan dari Spanyol dan India, masing-masing sebesar 13% dari produksi Adaro.Handoko memprediksi, laba bersih Adaro tahun 2012 mencapai US$ 417 juta, atau turun sekitar 25,54% dari tahun 2011 sebesar US$ 560 juta. Maklum, dia perkirakan, pendapatan Adaro pun turun dari US$ 3,99 miliar menjadi US$ 3,64 miliar.Margin laba bersih Adaro diprediksi akan turun dari 14% per 2011 menjadi 11% pada tahun 2012, dan 9% di tahun 2013. Baru pada tahun 2014, Handoko memprediksi margin laba bersih Adaro akan kembali meningkat menjadi 13%. Saat ini, Handoko menetapkan target harga saham ADRO sebesar Rp 1.600 per saham hingga 12 bulan ke depan dengan rekomendasi beli.Sementara Lucky lebihmerekomendasikan hold saham Adaro dengan target harga Rp 1.300 per saham. Dengan target harga yang ia berikan, PER Adaro tahun 2013 adalah 12 kali. Hingga Kamis (1/11), harga saham Adaro berakhir di level Rp 1.370 per saham.UNTRAwan mendung masih membayangi kinerja PT. United Tractors Tbk (UNTR). Harga komoditas global yang masih melemah membuat emiten alat berat ini harus rela melihat kinerja keuangannya seret.Selama sembilan bulan pertama 2012, pendapatan United Tractors naik tipis menjadi Rp 44,1 triliun dibanding Rp 39,7 triliun di 2011. Laba bersih anak usaha Astra International Tbk ini pun naik tipis menjadi Rp 4,4 triliun dari Rp 4,3 triliun.Penyebab seretnya kinerja United Tractors adalah anjloknya penjualan alat berat bermerek Komatsu, yang jadi andalan emiten ini. Hingga September 2012, United Tractors hanya mampu menjual 5.455 unit alias turun 14,7% dari periode yang sama 2011 sebanyak 6.396 unit. Alhasil, pendapatan United Tractors dari divisi alat berat turun menjadi Rp 18,9 trilun dari sebelumnya Rp 19,9 triliun.Beruntung kinerja mereka masih tertolong dua divisi usaha lainnya, yakni kontraktor pertambangan dan penjualan batubara. Pendapatan divisi kontrak pertambangan dari anak usahanya Pama Persada mencapai Rp 20,1 triliun atau naik 26% dari Rp 15,9 triliun. United Tractors juga masih mampu menjual sebanyak 4,5 juta ton batubara atau melonjak 40,8% dari 3,2 juta ton di 2011.Meski United Tractors masih membukukan keuntungan, sebagian besar kalangan analis menyambut negatif rilis kinerja tersebut dengan menurunkan target harga sahamnya. Analis Sucorinvest Arief Budiman merevisi kemampuan United Tractors dalam menjual alat berat dari 8.636 unit menjadi 6.925 unit di sepanjang 2012. Tak cuma itu, Arief melihat, hingga 2013, penjualan Komatsu masih seret. Dia pun merevisi penjualan Komatsu di 2013 menjadi 7.271 unit, atau turun dari asumsi sebelumnya 9.068 unit.Jadi, Arief memperkirakan, pendapatan United Tractors di 2013 turun 22,7% menjadi Rp 26,6 triliun. “United Tractors terus mengalami penurunan pangsa pasar dari 44,3% menjadi 35,5%. Ini efek negatif,” imbuh dia.Arief juga memperkirakan penurunan kinerja di dua divisi lainnya, yakni kontraktor pertambangan dan penjualan batubara. Dia meramal, pendapatan Pama turun tipis 2,8% menjadi Rp 25,7 triliun di akhir 2013. Sementara, pendapatan dari penjualan batubara bakal turun 2,1% menjadi Rp 8 triliun.Walhasil, Arief mengubah proyeksi total pendapatan United Tractors di 2013 menjadi Rp 61,08 triliun. Angka ini turun 14,3% dibanding asumsi pendapatan akhir 2012, yang sebesar Rp 55,8 triliun.Analis Ciptadana Securities Willim Hadiwijaya juga memangkas target pendapatan United Tractors. Dia memotong 7,2% asumsi pendapatan United Tractors di 2012 menjadi Rp 58,7 triliun. Asumsi laba bersih pun dia pangkas 10,1% menjadi Rp 6 triliun. Ujungnya, prediksi pencapaian pendapatan United Tractors di 2013 hanya Rp 66 triliun. Berarti, William memangkas 9,2% dari asumsi sebelumnya Rp 72,7 triliun.Mau tak mau, prediksi laba bersih 2012 dan 2013 pun berubah. Asumsi laba bersih 2012 berubah berubah dari Rp 6,7 triliun menjadi Rp 6 triliun. Sedangkan, laba bersih 2013 turun 12,8% menjadi Rp 6,7 triliun.Triwira menurunkan target harga UNTR dari Rp 30.500 menjadi Rp 26.800 per saham. Meski demikian, dia masih merekomendasikan beli lantaran potensi kenaikan harganya masih lumayan. Selain itu, manajemen yang solid dia nilai mampu menjaga kinerja emiten.Sedikit berbeda, Arief menyarankan hold UNTR karena kinerjanya yang melempem. Arief menurunkan target harga UNTR menjadi Rp 21.400 dari Rp 27.800. Bloomberg mencatat, sebanyak 14 analis merekomendasikan beli, 8 analis hold, dan 8 analis lagi merekomendasikan jual saham UNTR.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 06 - XVII, 2012 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Imanuel Alexander