KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meski kerap memberikan return yang tinggi, saham-saham lapis kedua tetap perlu diwaspadai oleh investor. Pasalnya, saham-saham second liner biasanya memiliki risiko yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan saham-saham blue chip. Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan, saham lapis kedua adalah saham-saham emiten yang bila ditinjau dari struktur permodalan bisa dibilang tak sekuat saham big caps. “Kalau aset dan modal perusahaan tinggi, sekalipun rugi akan lebih minim risikonya ketimbang yang modalnya saja kecil seperti emiten-emiten second liner itu,” kata Wawan, Selasa (16/7). Meski begitu Wawan tak memungkiri, saham-saham second liner yang masuk dalam indeks Pefindo25 misalnya, beberapa waktu terakhir ini mencetak pertumbuhan yang signifikan. Sejak awal tahun, terpantau indeks ini menguat sebesar 4,99%. Kenaikan indeks Pefindo25 lebih tinggi daripada pertumbuhan IHSG yang hanya sebesar 3,35%.
Menurut Wawan, hal itu tak dapat dilepaskan dari tertekannya saham-saham big caps pada Mei lalu. “Kalau kita mundur, IHSG kan sempat turun cukup dalam waktu Mei lalu. Nah, ini tentu juga menekan saham-saham big caps. Pada rentang inilah saham-saham middle-small mengalami pertumbuhan,” kata Wawan. Bicara kenaikan harga, Wawan juga agak sangsi bahwa harga saham-saham lapis dua bisa naik lebih tinggi lagi. Wawan mengacu pada kondisi pasar Indonesia yang masih didominasi oleh institusi termasuk fund manager. Menurut Wawan, para fund manager tidak bisa membeli saham-saham lapis dua dengan jumlah besar. Regulasi OJK yang mengatur bahwa fund manager tidak boleh membeli saham lebih dari 10% dana kelolaan dan maksimal hanya 5% dari modal disetor dan ditempatkan. “Karena kalau fund manager yang duitnya pasti besar membeli saham suatu perusahaan lapis dua, bisa-bisa sama saja dengan akuisisi,” kata Wawan.