KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed telah mengerek suku bunga acuan sebesar 25 bps atau 0,25% menjadi 4,50% hingga 4,75% dalam Federal
Open Market Committee (FOMC) Rabu (1/2) kemarin. Laju kenaikan suku bunga ini lebih lambat dibanding Desember 2022 yang mengalami kenaikan 50 bps dan 75 bps pada empat pertemuan sebelumnya. Meski begitu, keputusan ini dinilai sudah lebih dari cukup untuk mendorong bursa kembali menghijau.
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus mencermati bahwa kenaikan tingkat suku bunga The Fed tak lagi dipandang sebagai sesuatu yang menyeramkan.
“Karena pelaku pasar dan investor menyadari bahwa kenaikan tingkat suku bunga akan mencapai puncaknya,” ujarnya kepada Kontan Kamis (2/2).
Baca Juga: Asing Net Sell Rp 2,23 Triliun dalam Sebulan Terakhir, BMRI, BBCA dan BBRI Terbesar Kenaikan suku bunga yang terbatas ini menandakan inflasi mulai terkendali. Sepanjang tahun 2023 volatilitas IHSG diprediksi akan jauh lebih rendah dibanding tahun lalu. Maximilianus menyebut adanya potensi IHSG menuju level 7.950 secara optimis dan 7.615 secara moderat.
Angka tersebut dipengaruhi beberapa faktor, antara lain inflasi yang mulai terkendali, kenaikan tingkat suku bunga yang mulai terbatas, pemilu, daya beli dan konsumsi yang terjaga dengan baik, serta stabilitas pemulihan ekonomi Indonesia. “Tahun ini keadaan akan jauh lebih baik, khususnya memasuki semester ke II, dimana inflasi dapat turun lebih jauh,” tambahnya. Sementara itu, Equity Research Analyst Phintraco Sekuritas, Rio Febrian memproyeksikan target level IHSG di level 7.860 dengan asumsi pertumbuhan earning per share (EPS) sebesar 8,94%. Selain kenaikan suku bunga The Fed, Rio menyebut level IHSG juga dipengaruhi beberapa faktor lain diantaranya potensi moderasi komoditas batubara yang lebih signifikan dan penurunan kinerja sektor perbankan Indonesia.
Baca Juga: Cermati Saham-Saham yang Paling Banyak Dikoleksi Asing dalam Sebulan Terakhir Menurut Rio, ketiga faktor di atas berpengaruh pada kebijakan moneter di 2023 yang membuat Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuan pada akhir tahun 2022 selama tahun 2023 mendatang. Sayangnya, kenaikan suku bunga The Fed ini tidak mampu menopang harga komoditas energi terutama minyak yang justru melemah signifikan akibat data cadangan minyak Amerika Serikat yang mengalami peningkatan. “Kondisi terakhir, menekan ekspektasi pemulihan global
demand,” terang Rio kepada Kontan Kamis (2/2). Meski begitu, keputusan The Fed cukup menekan laju inflasi. Namun, dengan kenaikan tingkat suku bunga yang terbatas, Maximilianus memprediksi bahwa akan banyak pelaku pasar dan investor yang kembali masuk ke dalam pasar saham sehingga pelaku pasar tidak boleh lengah.
“Perhatikan, karena meskipun inflasi mulai terbatas, bukan berarti ketidakpastian di pasar menghilang,” imbaunya.
Baca Juga: Inilah Saham Syariah yang Diprediksi Bakal Berkah & Barokah Tahun 2023 Para pelaku pasar dan investor dapat lebih memperhatikan tujuan dan durasi investasi serta profil risiko. Di sisi lain, Rio memberikan rekomendasi saham defensif yang perlu dicermati seperti saham PT Mitra Adiperkasa Tbk (
MAPI), PT AKR Corporindo Tbk (
AKRA), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (
ICBP) dan PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (
CPIN).
Kemudian, potensi
buy on support di saham PT Pertamina Gas Negara Tbk (
PGAS), PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk (
INKP), PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) dan PT Unilever Indonesia Tbk (
UNVR).
Pelaku pasar juga dapat memperhatikan peluang
bullish continuation pada PT Aneka Tambang Tbk (
ANTM) dan PT Merdeka Copper Gold Tbk (
MDKA). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli