KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga sejumlah saham penghuni Indeks LQ45 naik sejak awal tahun atau secara
year-to-date (ytd). Mayoritas saham yang naik adalah saham emiten di sektor perbankan. Saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (
BBNI) misalnya, sejak awal tahun naik 24,81%. Adapula saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (
BBRI) naik 14,36%, dan saham PT Bank Mandiri Tbk (
BMRI) naik 11,39% secara
year-to-date (ytd). Kenaikan harga saham ini sejalan dengan kinerja yang dibukukan, dimana tahun lalu emiten perbankan big4 kompak mencetak laba bersih. Lantas, bagaimana valuasi dari saham-saham yang sudah naik tinggi ini?
Baca Juga: Pengembang Perumahan Lebih Diuntungkan Daripada Pengembang Kawasan Industri & Bisnis Analis MNC Sekuritas Tirta Widi Gilang Citradi mengatakan, rating saham BBNI saat ini sudah
hold karena sudah mendekati target harganya. Namun, valuasi BBNI saat ini belum masuk kategori premium, hanya saja berada di kisaran nilai wajar atau
fair value. Tirta menyebut, banyak katalis yang membuat saham BBNI terbang tinggi, mulai dari laba bersih yang berada di luar ekspektasi analis. Sebagai gambaran, BBNI membukukan laba bersih sebesar Rp10,89 triliun sepanjang 2021. Realisasi ini melejit 232,2% secara tahunan atau secara
year-on-year (yoy). Ada pula katalis dari rencana bank pelat merah ini mengakuisisi bank lain untuk tujuan bank digital. Sementara itu, saham emiten pelat merah lain seperti BBRI dan BMRI masih cukup atraktif. Saham BBRI masih terdiskon hampir 18% dari nilai intrinsiknya, sementara BMRI masih terdiskon 15% dari nilai intrinsik. “Jadi masih ada
margin of safety yang oke di kedua saham tersebut,” terang Tirta kepada Kontan.co.id, Senin (4/4). Tirta menyematkan rekomendasi beli saham BBRI dengan target harga Rp 5.500 dan beli saham BMRI dengan target harga Rp 8.900.
Baca Juga: IHSG Mencapai Rekor Baru 7.116 Pada Senin (4/4) Diiringi Net Buy Asing Tahun ini, Tirta masih optimistis laba perbankan besar akan tumbuh positif, dan menjadi sentimen bagi harga sahamnya. Sejumlah faktor yang bisa menjadi pendorong antara lain strategi
frontloading provisioning. Pertama, pencadangan yang memadai membuat ruang untuk
cost of credit bisa diturunkan lagi di tengah tren
non-performing loans (NPL) dan kredit yang direstrukturisasi.
Kedua, fokus perbankan di tahun ini adalah mencari aset yang memberikan
yield tinggi, terutama untuk pinjaman (loan). Dengan likuiditas yang masih memadai, bank bisa menggenjot pertumbuhan kredit. Sementara itu, fokus untuk menguatkan
current account and saving account (CASA) juga menjadi prioritas big bank. Sehingga,
cost of fund bisa tetap rendah dan
net interest margin (NIM) akan terjaga atau bahkan naik. Di sisi lain, digitalisasi yang semakin masif serta pengembangan ekosistem lewat
partnership juga menjadi senjata perbankan untuk meningkatkan
fee-based income.
Baca Juga: IDX BUMN20 Cetak Kinerja Ciamik, Intip Saham-Saham yang Menarik Dikoleksi Ketiga, faktor aksi korporasi juga bisa menjadi katalis positif, terutama yang ada sangkut pautnya dengan strategi transformasi dan pembentukan digital bank.
Keempat, datang dari aspek
environmental, social, and governance (ESG). Tirta mengatakan, saat ini perbankan mulai berfokus untuk memiliki portofolio
sustainable financing yang bisa mendongkrak
rating ESG. Komposisi asing di
big bank cukup besar, dan mereka cukup menaruh perhatian dengan penerapan ESG. Tak hanya saham perbankan, saham berbasis komoditas batubara juga kompak terkerek sejak awal tahun. Ambil contoh, saham PT Adaro Energy Indonesia Tbk (
ADRO) yang naik 24,89% sejak awal tahun dan saham PT Indo Tambangraya Megah Tbk (
ITMG) yang naik 31,5% secara ytd. Saham emiten berbasis logam seperti PT Aneka Tambang Tbk (
ANTM) dan PT Vale Indonesia Tbk (
INCO) juga kompak menguat masing-masing 17,33% dan 49,04% sejak awal tahun.
Baca Juga: Menilik Efek Pertumbuhan Ekonomi Kuartal I-2022 Terhadap Prospek Reksadana Analis Pilarmas Investindo Sekuritas Desy Israhyanti melihat, kenaikan harga saham-saham ini tidak terlepas dari moncernya kinerja emiten. Krisis energi yang terjadi di Eropa dan China menjadi penopang neraca keuangan emiten-emiten sektor energi tahun lalu, setelah tertekan imbas pandemi. Memasuki 2022, pamor sektor energi akan berlanjut seiring dengan risiko geopolitik yang terjadi antara Rusia-Ukraina yang pada akhirnya mengangkat harga komoditas. Meski sudah naik tinggi, Desy melihat valuasi ITMG dan ADRO relatif lebih murah, dimana pergerakan historis
price to earnings ratio atau PER kedua saham dalam setahun berada di bawah rata-rata -1 deviasi. Desy merekomendasikan beli saham ITMG dengan target harga Rp 30.970 dan saham ADRO dengan target harga Rp 3.105.
Baca Juga: Harga Saham BBCA & BBRI Kompak Melemah di Perdagangan Bursa Senin (4/4) Sementara itu, valuasi saham INCO dan ANTM dinilai relatif lebih mahal. Pergerakan PER historis dalam setahun untuk INCO berada di atas rata-rata PER dan untuk ANTM berada di atas rata-rata PER +1 deviasi. Rekomendasi
sell diberikan untuk INCO dan ANTM. Tahun ini, Desy menilai emiten sektor batubara dan nikel dinilai masih prospektif seiring dengan konflik Rusia-Ukraina yang masih berlangsung. Sentimen ini menaikkan permintaan dan berdampak pada melambungnya harga komoditas. “Ketidakpastian yang terjadi saat ini memberikan kepercayaan bahwa emiten energi khususnya batubara dan nikel masih akan memetik buah manis kenaikan harga komoditas, meskipun gaunan transformasi menuju energi hijau terus digencarkan,” terang Desy kepada Kontan.co.id, Senin (4/4). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati