KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saham PT Siloam International Hospitals Tbk (
SILO) terus merosot sejak awal tahun. Secara
year to date (ytd) harganya sudah terkoreksi hingga 28,29%. Pada perdagangan Jumat (18/7), saham SILO ditutup menguat 0,46% ke level Rp 2.180 dari dibuka Rp 2.170 per saham. Selama sepekan terakhir dan sebulan terakhir, sahamnya juga masih bergerak turun masing-masing 1,80% dan 0,46%. Analis Korea Investment and Sekuritas Indonesia (KISI) Muhammad Wafi menilai, hal ini terjadi imbas normalisasi layanan kesehatan pasca pandemi Covid-19. Maklum, kala itu emiten rumah sakit mendulang keuntungan besar dari layanan terkait penanganan virus itu, seperti tes, rawat inap, vaksinasi, dan sebagainya. Setelah pandemi mereda, permintaan layanannya kembali ke setelan awal.
Selain itu, Wafi juga melihat adanya persaingan ketat emiten rumah sakit lokal dengan tren wisata medis atau
medical tourism yang belakangan digandrungi masyarakat kelas menengah. Banyak orang Indonesia yang memilih berobat ke luar negeri seperti Malaysia, Singapura, atau Thailand lantaran biayanya dianggap lebih murah namun teknologinya lebih maju.
Baca Juga: Realisasi Capex Siloam Hospitals (SILO) Capai Rp 400 Miliar di Kuartal I-2025 Tak hanya itu, Wafi bilang situasi ini pun terjadi karena pelemahan daya beli juga penurunan nilai tukar rupiah. Ketika daya beli melemah, masyarakat cenderung lebih menahan pengobatan ke rumah sakit swasta semacam SILO demi menghemat pengeluaran. Sedangkan ketika rupiah melemah, SILO harus merogoh saku lebih dalam untuk membeli peralatan medis dan obat impor. “Secara valuasi juga masih relatif mahal dengan
price to earnings ratio (PER) masih lebih dari 20 kali. Kecuali di kuartal berikutnya ada peningkatan performa, maka tren penurunan sahamnya masih bisa berlanjut,” jelas Wafi saat ditanya Kontan, Jumat (18/7).
Baca Juga: Siloam International Hospitals (SILO) Anggarkan Capex Rp 2 Triliun di 2025 Analis Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta juga sepakat, valuasi SILO masih tergolong cukup mahal dengan PER 30 kali dan
price to book value (PBV) 3 kali sehingga investor masih cenderung
wait and see sampai pergerakannya kembali mendaki. Keputusan SILO untuk tak membagikan dividen dari laba tahun buku 2024 sebanyak Rp 1,26 triliun juga menurut Nafan jadi turut jadi pertimbangan investor. Meski begitu, Nafan menilai kinerja keuangan SILO baik secara
top line maupun
bottom line di kuartal l-2025. Di periode ini, laba bersih SILO meroket 913% secara tahunan (
year on year/YoY) mencapai Rp 255,8 miliar dari Rp 25,26 miliar di periode sama tahun sebelumnya. Pendapatannya juga tumbuh tipis 0,4% YoY dari Rp 2,34 triliun menjadi Rp 2,35 triliun. Adapun, ebitda menurun 5,1% YoY menjadi Rp 670,28 miliar dari Rp 706,25 miliar. Untuk menggenjot pergerakan sahamnya, Wafi bilang SILO perlu memperluas porsi segmen nasabah menengah ke bawah, mengingat segmen menengah ke atas, yang jadi fokus SILO, banyak beralih ke rumah sakit di Singapura dan Malaysia. “Selain itu, SILO perlu perkuat efisiensi dan lini
center of excellence (CoE) untuk bersaing dengan fenomena
medical tourism,” saran Wafi.
Untuk itu, Wafi masih menyarankan investor untuk
wait and see sampai saham SILO breakout di harga Rp 2.250 per saham. Adapun secara teknikal, analis MNC Sekuritas Herditya Wicaksana melihat posisi saham SILO saat ini cenderung downtrend dan masih berada di bawah MA20. Volumenya kata dia belum begitu besar, dengan pergerakan MACD yang masih melandai di area negatif. Namun, Stochastic kata Herditya berpeluang golden cross ke area netral. Dengan demikian, Herditya menyarankan investor untuk
trading buy di level support Rp 2.160 dan resistance Rp 2.210 dengan target harga di rentang Rp 2.230-2.250. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News