Walau banyak masalah menghadang, Sakidjan tak lantas menyerah. Dia bahkan mulai mengembangkan usaha dengan membuat bakmi sebagai bahan baku mi ayamnya. Selama beberapa tahun, Sakidjan terus menyempurnakan bakmi bikinannya. Akhirnya, pada 2000, ia berhasil menciptakan bakmi tanpa pengawet.Perjalanan hidup Sakidjan terus bergulir bak roda gerobak mi ayamnya. Setelah menjadi kuli bangunan, ia pun beralih profesi menjadi penjual mi ayam gerobak. Setelah bekerja dengan orang lain, dia lalu memberanikan diri membuka usaha mi ayam sendiri.Sakidjan punya dua gerobak. Tempat mangkalnya, di Jalan Kopi, Kota dan Jembatan Lima, Jakarta Barat. Gerobak mie ayamnya di daerah Kota ramai pembeli. Sebaliknya, yang di Jembatan Lima sepi. Akhirnya, pada 1981, ia angkat kaki dari Jembatan Lima karena lokasi jualannya itu akan dijadikan ruko.Toh, usahanya berkembang. Di tahun yang sama, ia sudah mempunyai tujuh gerobak. Dengan harga per mangkok Rp 100, dalam sehari, satu gerobak mi ayamnya menghabiskan 10 kilogram bakmi. Sakidjan pun memutuskan untuk membuat bakmi sendiri. Saat itu, untuk tujuh gerobak mi ayamnya, Sakidjan membutuhkan pasokan 4 bal bakmi per hari. Satu bal bakmi setara dengan 22,5 kilogram (kg). Untuk itu, ia lalu membeli mesin pembuat bakmi bekas seharga Rp 75.000.Meski sudah memiliki alat pembuat bakmi, Sakidjan belum tahu proses pembuatan bakmi. Ia kemudian mencari ilmu membuat bakmi dengan mengunjungi kawannya yang sudah mahir membikin bakmi. "Saya coba buat, gagal, coba lagi, gagal lagi. Sampai ada bakmi bentuknya segini," tutur Sakidjan sambil menunjukkan jari kelingkingnya. Sakidjan tak puas dengan kerja mesin bakminya. Ia lantas membeli mesin baru pembuat bakmi seharga Rp 150.000. Sambil meneruskan usaha penjualan mi ayam, Sakidjan berusaha terus belajar cara pembuatan bakmi yang baik.Berbagai tempat dia datangi untuk mendapat formula pembuatan bakmi, termasuk di kawasan Kota. "Di sana saya ditertawai pedagang. Katanya, bapak ini mau cari formula mi seperti apa? Banyak sekali formula mi," ujar Sakidjan meniru ucapan pedagang mi.Ia tak menyerah. Akhirnya, dalam waktu setengah tahun Sakidjan berhasil membuat bakmi dengan baik. Tapi, dia tak begitu saja puas.Karena itu, ketika kawan saudara iparnya datang ke salah satu gerobak mi ayamnya di daerah Mayestik, Jakarta Selatan, ia menanyakan rasa mi buatannya. Soalnya, "Dia suka sekali makan mi," katanya. Selesai menandaskan satu mangkok mi ayam, teman saudara ipar Sakidjan menyatakan, bakmi buatannya sudah bagus tapi tidak memiliki ciri khas.Mendengar saran itu, Sakidjan bertekad untuk membuat bumbu dengan rasa khas. Saat itu, persaingan pengusaha mi ayam sangat ketat, jadi tidak ada seorang pun yang mau berbagi rahasia bumbu mi ayam. "Saya justru mendapat ajaran membuat bumbu dari tukang urut langganan," ujarnya.Setelah berhasil meracik bumbu sendiri, di tahun 2000, barulah bakmi buatan Sakidjan bisa dikatakan sempurna. Bakmi bikinan Sakidjan terkenal karena tak memakai bahan pengawet. Itu sebabnya, bakminya hanya bisa bertahan 14 jam, atau 20 jam jika dimasukkan ke mesin pendingin. Saat ini, pabrik bakmi milik Sakidjan berada di Petukangan Utara, Jakarta Selatan. Di sana, 15 bal bakmi dihasilkan saban hari. Bakmi itu kemudian dipasok ke 13 kedai mi ayamnya. Bakmi itu juga dipakai sebagai bahan baku sekitar 100 gerobak mi ayam yang berkeliling ke sudut-sudut ibukota. Dari 100 gerobak itu, 60 di antaranya milik Sukidjan yang dipinjamkan ke penjual mi ayam. Setiap hari, pegawai pabrik mengantar bakmi ke penjual mi ayam. Ada yang membeli 2 kilogram, namun ada pula yang minta pasokan hingga 20 kilogram sehari dengan harga Rp 11.000 sekilogram.Pada 1998, usaha mi ayam Sakidjan berkibar dengan bendera Tunggal Rasa. Namun, setelah 2004, nama mi ayamnya berganti menjadi Mi Kondang. "Nama ini hasil rembukan dengan beberapa pejabat. Salah satunya, Kepala Staf Umum TNI Suyono," ungkap dia.Ya, banyak pejabat tinggi negara yang datang ke kedai mi ayam milik Sakidjan. Makanya, Sakidjan bisa kenal dekat dengan sejumlah petinggi penting negara seperti Suyono. (Bersambung)
Sakidjan pantang menyerah mencari formula bakmi (2)
Walau banyak masalah menghadang, Sakidjan tak lantas menyerah. Dia bahkan mulai mengembangkan usaha dengan membuat bakmi sebagai bahan baku mi ayamnya. Selama beberapa tahun, Sakidjan terus menyempurnakan bakmi bikinannya. Akhirnya, pada 2000, ia berhasil menciptakan bakmi tanpa pengawet.Perjalanan hidup Sakidjan terus bergulir bak roda gerobak mi ayamnya. Setelah menjadi kuli bangunan, ia pun beralih profesi menjadi penjual mi ayam gerobak. Setelah bekerja dengan orang lain, dia lalu memberanikan diri membuka usaha mi ayam sendiri.Sakidjan punya dua gerobak. Tempat mangkalnya, di Jalan Kopi, Kota dan Jembatan Lima, Jakarta Barat. Gerobak mie ayamnya di daerah Kota ramai pembeli. Sebaliknya, yang di Jembatan Lima sepi. Akhirnya, pada 1981, ia angkat kaki dari Jembatan Lima karena lokasi jualannya itu akan dijadikan ruko.Toh, usahanya berkembang. Di tahun yang sama, ia sudah mempunyai tujuh gerobak. Dengan harga per mangkok Rp 100, dalam sehari, satu gerobak mi ayamnya menghabiskan 10 kilogram bakmi. Sakidjan pun memutuskan untuk membuat bakmi sendiri. Saat itu, untuk tujuh gerobak mi ayamnya, Sakidjan membutuhkan pasokan 4 bal bakmi per hari. Satu bal bakmi setara dengan 22,5 kilogram (kg). Untuk itu, ia lalu membeli mesin pembuat bakmi bekas seharga Rp 75.000.Meski sudah memiliki alat pembuat bakmi, Sakidjan belum tahu proses pembuatan bakmi. Ia kemudian mencari ilmu membuat bakmi dengan mengunjungi kawannya yang sudah mahir membikin bakmi. "Saya coba buat, gagal, coba lagi, gagal lagi. Sampai ada bakmi bentuknya segini," tutur Sakidjan sambil menunjukkan jari kelingkingnya. Sakidjan tak puas dengan kerja mesin bakminya. Ia lantas membeli mesin baru pembuat bakmi seharga Rp 150.000. Sambil meneruskan usaha penjualan mi ayam, Sakidjan berusaha terus belajar cara pembuatan bakmi yang baik.Berbagai tempat dia datangi untuk mendapat formula pembuatan bakmi, termasuk di kawasan Kota. "Di sana saya ditertawai pedagang. Katanya, bapak ini mau cari formula mi seperti apa? Banyak sekali formula mi," ujar Sakidjan meniru ucapan pedagang mi.Ia tak menyerah. Akhirnya, dalam waktu setengah tahun Sakidjan berhasil membuat bakmi dengan baik. Tapi, dia tak begitu saja puas.Karena itu, ketika kawan saudara iparnya datang ke salah satu gerobak mi ayamnya di daerah Mayestik, Jakarta Selatan, ia menanyakan rasa mi buatannya. Soalnya, "Dia suka sekali makan mi," katanya. Selesai menandaskan satu mangkok mi ayam, teman saudara ipar Sakidjan menyatakan, bakmi buatannya sudah bagus tapi tidak memiliki ciri khas.Mendengar saran itu, Sakidjan bertekad untuk membuat bumbu dengan rasa khas. Saat itu, persaingan pengusaha mi ayam sangat ketat, jadi tidak ada seorang pun yang mau berbagi rahasia bumbu mi ayam. "Saya justru mendapat ajaran membuat bumbu dari tukang urut langganan," ujarnya.Setelah berhasil meracik bumbu sendiri, di tahun 2000, barulah bakmi buatan Sakidjan bisa dikatakan sempurna. Bakmi bikinan Sakidjan terkenal karena tak memakai bahan pengawet. Itu sebabnya, bakminya hanya bisa bertahan 14 jam, atau 20 jam jika dimasukkan ke mesin pendingin. Saat ini, pabrik bakmi milik Sakidjan berada di Petukangan Utara, Jakarta Selatan. Di sana, 15 bal bakmi dihasilkan saban hari. Bakmi itu kemudian dipasok ke 13 kedai mi ayamnya. Bakmi itu juga dipakai sebagai bahan baku sekitar 100 gerobak mi ayam yang berkeliling ke sudut-sudut ibukota. Dari 100 gerobak itu, 60 di antaranya milik Sukidjan yang dipinjamkan ke penjual mi ayam. Setiap hari, pegawai pabrik mengantar bakmi ke penjual mi ayam. Ada yang membeli 2 kilogram, namun ada pula yang minta pasokan hingga 20 kilogram sehari dengan harga Rp 11.000 sekilogram.Pada 1998, usaha mi ayam Sakidjan berkibar dengan bendera Tunggal Rasa. Namun, setelah 2004, nama mi ayamnya berganti menjadi Mi Kondang. "Nama ini hasil rembukan dengan beberapa pejabat. Salah satunya, Kepala Staf Umum TNI Suyono," ungkap dia.Ya, banyak pejabat tinggi negara yang datang ke kedai mi ayam milik Sakidjan. Makanya, Sakidjan bisa kenal dekat dengan sejumlah petinggi penting negara seperti Suyono. (Bersambung)