Saksi ahli beberkan fakta baru di sidang lanjutan AISA



KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Sidang lanjutan dugaan pemalsuan laporan keuangan PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk (AISA) kembali digelar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (24/3). Dalam sidang kali ini, pakar hukum bisnis Universitas Sebelas Maret (UNS), Yudho Taruno Muryanto dihadirkan sebagai saksi ahli.

Dalam persidangan, Yudho Taruno Muryanto menilai, tindakan dua terdakwa mantan direksi AISA, yakni Stefanus Joko Mogoginta, dan Budhi Istanto termasuk dalam tindakan penipuan pasar modal. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 90, dan 93 Undang-Undang (UU) Nomor 8/1995 tentang Pasar Modal. 

Dalam ketentuan itu diatur bahwa emiten dilarang membuat pernyataan atau memberikan keterangan tidak benar atau menyesatkan, sehingga mempengaruhi harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pengertian penipuan dalam UU Pasar Modal adalah memberikan informasi tidak benar, setengah benar, atau tidak memberikan informasi sama sekali. 


Pelanggaran atas pasal-pasal tersebut diatur dalam pasal 104 UU Pasar Modal, yang menyebutkan setiap pihak yang melanggar pasal 90, 91, pasal 92, 93, 95, 96, pasal 97 ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 15 miliar. "Kewajiban emiten memberikan keterbukaan informasi yang diatur dalam pasal 86," jelas Yudho dalam persidangan. 

Seperti diketahui, Joko dan Budhi diduga memasukan enam perusahaan afiliasi sebagai pihak ketiga dalam Laporan Keuangan Tahun 2017 PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk. Berdasarkan hasil investigasi Ernst & Young, diketahui adanya penggelembungan (overstatement) piutang Tiga Pilar kepada enam perusahaan yang rupanya merupakan milik dari Joko. 

Ernst & Young mencatat, nilai overstatement kepada enam perusahaan itu mencapai Rp 4 triliun. Overstatement juga dilakukan pada akun penjualan senilai Rp 662 miliar, dan EBITDA entitas Tiga Pilar pada divisi makanan senilai Rp 329 miliar. Ada pula dugaan aliran dana Rp 1,78 triliun kepada pihak yang terafiliasi dengan Joko dan Budhi tanpa adanya pengungkapan yang memadai. 

Direksi bertanggungjawab

Menurut Yudho, overstatement yang dilakukan dapat menimbulkan kerugian pada investor dan pelaku pasar. "Karena, dapat membuat kondisi perusahaan terlihat baik yang berakibat pada keputusan para investor untuk melakukan keputusan melakukan transaksi (saham)," jelas Yudho. 

Kalaupun bukan direksi yang membuat laporan keuangan secara langsung, menurut Yudho, direksi berdasarkan kewenangannya dianggap mengetahui laporan keuangan perusahaan yang dipimpinnya. Singkatnya, direksi bertanggung jawab terhadap laporan keuangan. Hal ini diatur dalam pasal 66 dan pasal 97 UU PT No 40 tahun 2007, terlepas siapapun yang membuatnya. 

Direksi juga wajib mengetahui potensi kerugian banyak pihak jika memasukkan piutang afiliasi dalam laporan keuangan. Terlebih, tindakan mencatat enam distribusi afiliasi sebagai pihak ketiga sekaligus menggelembungkan tagihan piutang dilakukan dengan sengaja. "Direksi juga bertanggung jawab secara pribadi jika melakukan tindakan di luar kewenangannya,” papar Yudho.

Dari beberapa sidang sebelumnya, diketahui bahwa mantan direksi Tiga Pilar telah memberi instruksi overstatement pada laporan keuangan perusahaan sejak tahun 2012. Dalam sidang sebelumnya, Hendra Adi Subrata, satu dari enam perusahaan distributor yang juga sempat menjadi saksi, mengaku baru mengetahui adanya overstatement yang dilakukan perusahaan dari pemberitaan media massa. 

Sementara berdasarkan laporan keuangan di enam perusahaan tersebut, Hendra bilang, total nilai piutang AISA hanya Rp 60 miliar-Rp 70 miliar. “Overstatement dilakukan untuk kepentingan Tiga Pilar, bukan untuk kami sebagai perusahaan distributor. Misalnya, bagaimana jika Tiga Pilar melakukan penagihan sesuai nilai laporan keuangannya? Ini akan sangat merugikan kami," katanya. 

Selanjutnya: Pertama kali, UU Pasar Modal menyasar direksi emiten

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan