KUALALUMPUR. Persidangan Walfrida Soik, tenaga kerja Indonesia (TKI) yang membunuh majikannya di Malaysia kembali digelar Rabu (2/4) kemarin. Dalam persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli ini, terungkap bahwa TKI asal NTT tersebut memiliki sejarah hidup yang sulit. Dr. Badiah Yahya, dokter forensik psikiatrik dari Rumah Sakit Permai Johor Bahru kembali dihadirkan sebagai saksi ahli. Pada persidangan Minggu (30/3) lalu, dokter Badiah mengatakan bahwa ketika kejadian Walfrida mengalami kondisi acute and transient psychotic disorder, yaitu situasi dimana pelaku mendadak terlepas dari realitas secara sementara sehingga tidak mampu mengontrol diri karena adanya tekanan di luar kemampuannya. Dalam persidangan kemarin, Badiah menjelaskan, kondisi acute and transient psychotic disorder dapat terjadi seketika untuk jangka waktu singkat karena adanya faktor pemicu. Penjelasan ini mematahkan argumentasi Jaksa Penuntut Umum (JPU), Puan Julia Ibrahim bahwa Walfrida Soik masih mampu berpikir setelah melakukan pembunuhan terhadap majikannya. Argumentasi JPU didasarkan pada fakta Walfrida Soik masih sempat berganti pakaian dan mengambil dompet serta pakaiannya setelah kejadian. Dr. Badiah juga menyampaikan bahwa Walfrida Soik mengalami disorganized speech and behavior atau bicara dan perilaku yang tidak teratur. Kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan jiwa Walfrida, menurutnya, merupakan hasil kerjasama tim dokter yang terdiri dari beberapa pakar di bidangnya, termasuk pakar dari Universitas New Castle di Inggris. Saksi ahli lainnya yang dihadirkan tim pengacara adalah Dr. Nur Zamuna binti Moh Nur. Dokter Rumah Sakit Permai Johor ini pernah melakukan kunjungan khusus ke kampung halaman Walfrida Soik di Atambua, NTT. Dr. Nur Zamuna menyampaikan bahwa berdasarkan data, analisis dan laporan atas sejarah kehidupan sosial, Walfrida Soik mengalami banyak masalah. Di antaranya, Wilfrida menderita penyakit epilepsi, menyaksikan pembunuhan semasa konflik, tidak bisa fokus dan diam yang menyebabkan dirinya tidak dapat bersekolah, suka berbicara sendiri dan sering menjerit di waktu malam. Atas keterangan ini, JPU meminta penjelasan lebih lanjut terkait sumber data, ada tidaknya catatan kesehatan Walfrida dan usianya pada saat mengalami semua kejadian tersebut.Dr. Normaheza Ahmad Badrudin, saksi ahli ketiga yang dihadrikan pada persidangan tersebut mengungkapkan Intelligence Quotient (IQ) hanya 52 lebih rendah dari rata-rata IQ anak seusianya yaitu 90-110.
Saksi: Walfrida Soik punya sejarah hidup sulit
KUALALUMPUR. Persidangan Walfrida Soik, tenaga kerja Indonesia (TKI) yang membunuh majikannya di Malaysia kembali digelar Rabu (2/4) kemarin. Dalam persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli ini, terungkap bahwa TKI asal NTT tersebut memiliki sejarah hidup yang sulit. Dr. Badiah Yahya, dokter forensik psikiatrik dari Rumah Sakit Permai Johor Bahru kembali dihadirkan sebagai saksi ahli. Pada persidangan Minggu (30/3) lalu, dokter Badiah mengatakan bahwa ketika kejadian Walfrida mengalami kondisi acute and transient psychotic disorder, yaitu situasi dimana pelaku mendadak terlepas dari realitas secara sementara sehingga tidak mampu mengontrol diri karena adanya tekanan di luar kemampuannya. Dalam persidangan kemarin, Badiah menjelaskan, kondisi acute and transient psychotic disorder dapat terjadi seketika untuk jangka waktu singkat karena adanya faktor pemicu. Penjelasan ini mematahkan argumentasi Jaksa Penuntut Umum (JPU), Puan Julia Ibrahim bahwa Walfrida Soik masih mampu berpikir setelah melakukan pembunuhan terhadap majikannya. Argumentasi JPU didasarkan pada fakta Walfrida Soik masih sempat berganti pakaian dan mengambil dompet serta pakaiannya setelah kejadian. Dr. Badiah juga menyampaikan bahwa Walfrida Soik mengalami disorganized speech and behavior atau bicara dan perilaku yang tidak teratur. Kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan jiwa Walfrida, menurutnya, merupakan hasil kerjasama tim dokter yang terdiri dari beberapa pakar di bidangnya, termasuk pakar dari Universitas New Castle di Inggris. Saksi ahli lainnya yang dihadirkan tim pengacara adalah Dr. Nur Zamuna binti Moh Nur. Dokter Rumah Sakit Permai Johor ini pernah melakukan kunjungan khusus ke kampung halaman Walfrida Soik di Atambua, NTT. Dr. Nur Zamuna menyampaikan bahwa berdasarkan data, analisis dan laporan atas sejarah kehidupan sosial, Walfrida Soik mengalami banyak masalah. Di antaranya, Wilfrida menderita penyakit epilepsi, menyaksikan pembunuhan semasa konflik, tidak bisa fokus dan diam yang menyebabkan dirinya tidak dapat bersekolah, suka berbicara sendiri dan sering menjerit di waktu malam. Atas keterangan ini, JPU meminta penjelasan lebih lanjut terkait sumber data, ada tidaknya catatan kesehatan Walfrida dan usianya pada saat mengalami semua kejadian tersebut.Dr. Normaheza Ahmad Badrudin, saksi ahli ketiga yang dihadrikan pada persidangan tersebut mengungkapkan Intelligence Quotient (IQ) hanya 52 lebih rendah dari rata-rata IQ anak seusianya yaitu 90-110.